Pada hari Sabtu, 17 Oktober 2009, Masnur Muslich mendampingi peserta dalam penulisan proposal PTK pada Diklat Regional yang bertema "Penelitian Tindakan Kelas (PTK)sebagai Upaya Meningkatkan Profesionalitas Guru dalam Pembelajaran" yang diselenggarakan oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra 2009. Diklat yang dikuti 160 peserta dari kalangan guru dan mahasiswa ini dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB. Beberapa masalah yang masih menjadi kebingungan (baca: kesulitan) peserta ketika menyusun proposal PTK adalah sebagai berikut.
1. Deskripsi latar belakang masalah yang tidak sesuai dengan topik yang akan diteliti.
2. Rumusan masalah yang tidak/belum menjawab topik yang akan diteliti.
3. Topik PTK yang bernuansa "uji coba" atau eksperimen.
4. Topik PTK yang tidak menjawab masalah kelas.
5. Rancangan peleksanaan tindakan yang tidak mengacu pada perbaikan kelas.
6. Rancangan evaluasi yang tidak mengacu pada indikator pada KD yang telah ditetapkan.
Setelah dijelaskan, masalah-masalah tersebut akhirnya dapat dipahami peserta.
Inilah foto situasi ketika para peserta menyusun proposal PTK yang dilakukan secara berkelompok.
Minggu, 18 Oktober 2009
Senin, 05 Oktober 2009
Halal Bil Halal Keluarga Besar Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang
Para hari Minggu 04 Oktober 2009 keluarga besar Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang mengadakan pertemuan dalam rangka halal bil halal. Acara yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun ini dihadiri oleh semua dosen Jurusan Sastra Indonesia, suami/istri, dan anak-anak, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnatugas. Pada tahun ini acara halal bil halal dilaksanakan di bagian belakang bengkel mobil Dr. H. Sumadi, M.Pd.
Berbeda dengan acara-acara sebelumnya, acara tahun ini, kata Dr. H. Sumadi, M.Pd, dilaksanakan secara khusus. Kekhususan itu menampak pada beberapa hal.
1. Pembawa acaranya mengggunakan pengantar bahasa Jawa (dibawahan oleh dosen muda Jurusan Sastra Indonesia Bapak Karkono dan Bapak Teguh)
2. Acaranya dilaksanakan di bengkel, tidak di rumah.
3. Spanduk ucapan "Selamat Idul Fitri" disponsori oleh salah satu merek oli mobil.
4. Pidato sambutan dari tuan rumah dan ketua jurusan menggunakan bahasa Jawa.
5. Yang memberikan mauidloh hasanah adalah alumni Jurusan Bahasa Indonesia, yang dikenal sebagai penceramah agama, bukan sebagai guru bahasa Indonesia.
Berdasarkan pantauan Masnur Muslich, situasi pertemuan setahun sekali yang dihelat oleh Jurusan Sastra Indonesia ini ternyata memunculkan fenomena khas, antara lain sbb.
- Ada seorang istri dosen yang tidak mengetahui istri siapa yang sedang duduk di sampingnya. "Ini ibu siapa, ya?" celetuknya sambil bebrjabat tangan.
- Ada juga seorang istri dosen yang menanyakan nama dosen tertentu. "Pak Soedjiatno kok belum terlihat, ya?" Katanya. Padahal, beliau sudah wafat setahun yang lalu.
- Ada seorang dosen senior yang mananyakan kepada saya (Masnur Muslich). "Yang duduk di sebelah Bu Masnur itu siapa?". Saya jawab, "Itu istri Pak Gatut, Pak."
- Ada seorang dosen yang berjabat tabngan erat-erat dengan seorang dosen yang purnatugas sambil mengatakan, "Kita sudah tiga tahunan tidak ketemu, Pak", sambil matanya berlinang.
- Ada sepasang dosen bagaikan mimi lan mintuna yang perlu kita jadikan teladan, yaitu Bapak H. Solhan dan Ibu Hj. Solhan. Mengapa? Setiap saya ketemu di acara keluarga Jurusan, beliau selalu berdua. Lengket seperti perangko.
Inilah hasil jepretan Masnur Muslich yang menampilkan beberapa profil yang hadir dalam acara tersebut.
Bapak H. Abd. Rahman HA dan Bapak H. Srie Soedarman ketika mendengarkan pidato sambutan tuan rumah Bapak H. Sumadi.
Bapak H. Umar Wirasno dan Bapak Prof. H. Abd. Syukur Ghazali ketika menyimak pidato sambutan purnatugas Bapak Prof. Soedjiono
Ibu Hj. Solhan, Bapak H. Solhan, dan Bapak H. Umar Wirasno ketika mendengarkan ceramah dari Ustad Imam Baihaqi yang cukup "menggigit".
Bapak H. Taryono AR, Bapak Prof. Soedjito, dan Bapak H. Sumadi ketika berbicang-bincang tentang situasi bengkel.
Bapak Dr. Widodo, M.Pd (duplikat Pakde Karwo) dan Suami Ibu Hj.Ida Lesatri sedang mendengarkan pidato sambutan Ketua Jurusan Sastra Indonesia Dr. Maryaeni, M.Pd. (calon ustad)
Dr. Djoko Saryono, M.Pd yang ternyata masih suka makan kacang dan singkong rebus. "Nostagia, ni ye."
Prof. Dr. Abd. Syukur Ibrahim ketika ramah tamah seusau acara halal bil halal. "Ternyata masih suka dan berani makan sate kambing," gumam Masnur Muslich.
Berbeda dengan acara-acara sebelumnya, acara tahun ini, kata Dr. H. Sumadi, M.Pd, dilaksanakan secara khusus. Kekhususan itu menampak pada beberapa hal.
1. Pembawa acaranya mengggunakan pengantar bahasa Jawa (dibawahan oleh dosen muda Jurusan Sastra Indonesia Bapak Karkono dan Bapak Teguh)
2. Acaranya dilaksanakan di bengkel, tidak di rumah.
3. Spanduk ucapan "Selamat Idul Fitri" disponsori oleh salah satu merek oli mobil.
4. Pidato sambutan dari tuan rumah dan ketua jurusan menggunakan bahasa Jawa.
5. Yang memberikan mauidloh hasanah adalah alumni Jurusan Bahasa Indonesia, yang dikenal sebagai penceramah agama, bukan sebagai guru bahasa Indonesia.
Berdasarkan pantauan Masnur Muslich, situasi pertemuan setahun sekali yang dihelat oleh Jurusan Sastra Indonesia ini ternyata memunculkan fenomena khas, antara lain sbb.
- Ada seorang istri dosen yang tidak mengetahui istri siapa yang sedang duduk di sampingnya. "Ini ibu siapa, ya?" celetuknya sambil bebrjabat tangan.
- Ada juga seorang istri dosen yang menanyakan nama dosen tertentu. "Pak Soedjiatno kok belum terlihat, ya?" Katanya. Padahal, beliau sudah wafat setahun yang lalu.
- Ada seorang dosen senior yang mananyakan kepada saya (Masnur Muslich). "Yang duduk di sebelah Bu Masnur itu siapa?". Saya jawab, "Itu istri Pak Gatut, Pak."
- Ada seorang dosen yang berjabat tabngan erat-erat dengan seorang dosen yang purnatugas sambil mengatakan, "Kita sudah tiga tahunan tidak ketemu, Pak", sambil matanya berlinang.
- Ada sepasang dosen bagaikan mimi lan mintuna yang perlu kita jadikan teladan, yaitu Bapak H. Solhan dan Ibu Hj. Solhan. Mengapa? Setiap saya ketemu di acara keluarga Jurusan, beliau selalu berdua. Lengket seperti perangko.
Inilah hasil jepretan Masnur Muslich yang menampilkan beberapa profil yang hadir dalam acara tersebut.
Bapak H. Abd. Rahman HA dan Bapak H. Srie Soedarman ketika mendengarkan pidato sambutan tuan rumah Bapak H. Sumadi.
Bapak H. Umar Wirasno dan Bapak Prof. H. Abd. Syukur Ghazali ketika menyimak pidato sambutan purnatugas Bapak Prof. Soedjiono
Ibu Hj. Solhan, Bapak H. Solhan, dan Bapak H. Umar Wirasno ketika mendengarkan ceramah dari Ustad Imam Baihaqi yang cukup "menggigit".
Bapak H. Taryono AR, Bapak Prof. Soedjito, dan Bapak H. Sumadi ketika berbicang-bincang tentang situasi bengkel.
Bapak Dr. Widodo, M.Pd (duplikat Pakde Karwo) dan Suami Ibu Hj.Ida Lesatri sedang mendengarkan pidato sambutan Ketua Jurusan Sastra Indonesia Dr. Maryaeni, M.Pd. (calon ustad)
Dr. Djoko Saryono, M.Pd yang ternyata masih suka makan kacang dan singkong rebus. "Nostagia, ni ye."
Prof. Dr. Abd. Syukur Ibrahim ketika ramah tamah seusau acara halal bil halal. "Ternyata masih suka dan berani makan sate kambing," gumam Masnur Muslich.
Kamis, 17 September 2009
KEGIATAN PENDALAMAN MATERI DAN PRAKTIK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA PADA PLPG YANG DISELENGGARAKAN OLEH PSG RAYON 15 (UNIVERSITAS NEGERI MALANG)
Pada pertengahan Agustus sampai dengan 18 September 2009 Panitia Sertifikasi Guru(PSG) Rayon 15 Universitas Negeri Malang menyelenggarakan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Depdiknas di Kota Batu. Pesertanya adalah guru SD, SMP, SMA, SMK, dan Pengawas yang tidak lulus dalam penilaian portofolio.
Para dosen Universitas Negeri Malang yang sudah mengantongi NIA (Nomor Induk Asesor) ditugaskan sebagai inrtuktur dalam PLPG tersebut, termasuk Masnur Muslich. Sesuai dengan bidangnya, Masnur Muslich ditunjuk sebagai instruktur bidang studi Bahasa Indonesia SMP, SMA, dan SMK. Inilah sebagian rekaman kegiatan peserta PLPG yang dibina oleh Masnur Muslich.
Guru-guru Bidang Studi Bahasa Indonesia sedang berdiskusi kelompok pada Materi Pendalaman Bidang Studi yang dibina oleh Masnur Muslich
Dengan penuh antusias peserta sedang melaksanakan peer teaching di depan koleganya.
Dalam keadaan yang serba terbatas,para peserta tetap berkreasi untuk membuat media agar menampilkan pembelajarannya dapat optimal
Para "siswa" tetap bersemangat ketika disuruh oleh "guru" mengerjakan soal di muka kelas.
Ketika kegiatan berakhir, salah seorang peserta membacakan puisi yang ditujukan kepada instruktur sebagai ungkapan rasa terima kasih dan haru atas ketelatenan dan kesabaran instruktur dalam memberikan pelatihan.
Para dosen Universitas Negeri Malang yang sudah mengantongi NIA (Nomor Induk Asesor) ditugaskan sebagai inrtuktur dalam PLPG tersebut, termasuk Masnur Muslich. Sesuai dengan bidangnya, Masnur Muslich ditunjuk sebagai instruktur bidang studi Bahasa Indonesia SMP, SMA, dan SMK. Inilah sebagian rekaman kegiatan peserta PLPG yang dibina oleh Masnur Muslich.
Guru-guru Bidang Studi Bahasa Indonesia sedang berdiskusi kelompok pada Materi Pendalaman Bidang Studi yang dibina oleh Masnur Muslich
Dengan penuh antusias peserta sedang melaksanakan peer teaching di depan koleganya.
Dalam keadaan yang serba terbatas,para peserta tetap berkreasi untuk membuat media agar menampilkan pembelajarannya dapat optimal
Para "siswa" tetap bersemangat ketika disuruh oleh "guru" mengerjakan soal di muka kelas.
Ketika kegiatan berakhir, salah seorang peserta membacakan puisi yang ditujukan kepada instruktur sebagai ungkapan rasa terima kasih dan haru atas ketelatenan dan kesabaran instruktur dalam memberikan pelatihan.
Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal
Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal
Oleh:
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.
Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.
Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.
Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.
Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal
“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.
Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.
Pustaka Acuan
Bro-dart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. Menulis, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. Struktur Bacaan Anak, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.
Sebagai cerita pada umumnya, buku cerita anak dibangun dalam sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang menyatu untuk mencapai kualitas maksimal sebuah cerita, yaitu tema, plot, karakter, gaya bahasa, dan ilustrasi (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
1. Tema adalah gagasan atau ide cerita yang dapat memberi pengetahuan baru mengenai kehidupan dalam konsep yang benar. Tema sebuah cerita adalah makna yang tersembunyi. Tema mencakup moral atau pesan/amanat cerita. Tema bagi cerita anak haruslah yang perlu dan baik bagi mereka. Ia harus mampu menerjemahkan kebenaran. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah tema tidak boleh mengalahkan alur dan tokoh-tokoh cerita. Tentu saja, buku yang ditulis dengan baik tidak akan menyampaikan pesan moral secara langsung, tetapi dilewatkan rangkaian cerita yang mengandung moral tertentu sehingga pesan akan mengalir dengan sendirinya. Dengan cara itu, tema disampaikan kepada anak secara tersamar. Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi.
2. Plot adalah kerangka cerita untuk membangun alur cerita yang dapat menumbuhkembangkan sistem penalaran atau berpikir logis. Kita tahu bahwa dalam cerita fiksi bangun yang menentukan atau mendasarinya adalah alur. Alurlah yang menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Dan hal penting dari alur ini adalah konflik. Karena konfliklah yang menggerakkan sebuah cerita. Konflik pula yang bisa menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita. Alur cerita anak biasanya dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu. Alur lain yang digunakan adalah sorot balik. Alur sorot balik digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anak-anak di bawah usia sembilan tahun.
3. Karakter adalah kepribadian tokoh yang dapat meyakinkan anak. Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, idola, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi anak. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi. Hal penting dalam memahami tokoh adalah penokohan yang berkaitan dengan cara penulis dalam membantu pembaca untuk mengenal tokoh tersebut. Hal ini terlihat dari penggambaran secara fisik tokoh serta kepribadiannya. Aspek lain adalah perkembangan tokoh. Perkembangan tokoh menunjuk pada perubahan baik atau buruk yang dijalani tokoh dalam cerita-cerita.
4. Gaya bahasa adalah gaya mengisahan dalam cerita. Gaya bahasa yang digunakan haruslah yang baik dan hidup, imajinatif dan fantastis namun mudah dicerna, bahasa yang dapat memperkaya perbendaharaan dan membangun kreativitas berpikir, mengasah akal budi, kepekaan perasaan dan keindahan. Salah satu aspek yang digunakan untuk menelaah gaya bahasa dalam sebuah cerita adalah pilihan kata. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan cerita yang disampaikan karena disadari bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu. Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan.
5. Latar adalah waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi. Misalnya dalam cerita kesejarahan, penciptaan waktu yang otentik ini sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita.
Oleh:
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.
Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.
Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.
Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.
Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal
“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.
Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.
Pustaka Acuan
Bro-dart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. Menulis, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. Struktur Bacaan Anak, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.
Sebagai cerita pada umumnya, buku cerita anak dibangun dalam sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang menyatu untuk mencapai kualitas maksimal sebuah cerita, yaitu tema, plot, karakter, gaya bahasa, dan ilustrasi (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
1. Tema adalah gagasan atau ide cerita yang dapat memberi pengetahuan baru mengenai kehidupan dalam konsep yang benar. Tema sebuah cerita adalah makna yang tersembunyi. Tema mencakup moral atau pesan/amanat cerita. Tema bagi cerita anak haruslah yang perlu dan baik bagi mereka. Ia harus mampu menerjemahkan kebenaran. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah tema tidak boleh mengalahkan alur dan tokoh-tokoh cerita. Tentu saja, buku yang ditulis dengan baik tidak akan menyampaikan pesan moral secara langsung, tetapi dilewatkan rangkaian cerita yang mengandung moral tertentu sehingga pesan akan mengalir dengan sendirinya. Dengan cara itu, tema disampaikan kepada anak secara tersamar. Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi.
2. Plot adalah kerangka cerita untuk membangun alur cerita yang dapat menumbuhkembangkan sistem penalaran atau berpikir logis. Kita tahu bahwa dalam cerita fiksi bangun yang menentukan atau mendasarinya adalah alur. Alurlah yang menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Dan hal penting dari alur ini adalah konflik. Karena konfliklah yang menggerakkan sebuah cerita. Konflik pula yang bisa menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita. Alur cerita anak biasanya dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu. Alur lain yang digunakan adalah sorot balik. Alur sorot balik digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anak-anak di bawah usia sembilan tahun.
3. Karakter adalah kepribadian tokoh yang dapat meyakinkan anak. Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, idola, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi anak. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi. Hal penting dalam memahami tokoh adalah penokohan yang berkaitan dengan cara penulis dalam membantu pembaca untuk mengenal tokoh tersebut. Hal ini terlihat dari penggambaran secara fisik tokoh serta kepribadiannya. Aspek lain adalah perkembangan tokoh. Perkembangan tokoh menunjuk pada perubahan baik atau buruk yang dijalani tokoh dalam cerita-cerita.
4. Gaya bahasa adalah gaya mengisahan dalam cerita. Gaya bahasa yang digunakan haruslah yang baik dan hidup, imajinatif dan fantastis namun mudah dicerna, bahasa yang dapat memperkaya perbendaharaan dan membangun kreativitas berpikir, mengasah akal budi, kepekaan perasaan dan keindahan. Salah satu aspek yang digunakan untuk menelaah gaya bahasa dalam sebuah cerita adalah pilihan kata. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan cerita yang disampaikan karena disadari bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu. Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan.
5. Latar adalah waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi. Misalnya dalam cerita kesejarahan, penciptaan waktu yang otentik ini sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita.
PENGEMBANGAN STRATEGI COLLABORATIVE WRITING DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA PADA MATAKUIAH MENULIS BUKU ILMIAH
Pengembangan Strategi Collaborative Writing
dalam Peningkatan Kemampuan Menulis Mahasiswa
pada Matakuliah Menulis Buku Ilmiah
Oleh Masnur Muslich
Konteks
Dalam Struktur Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastra Indoneia S1 pada Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Univesitas Negeri Malang, matakuliah Menulis Buku Ilmiah (MBI) merupakan kelompok Matakuliah Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diberi bobot 3 sks dan 4 js. Matakuliah yang disajikan pada semester V ini bertujuan agar mahasiswa dapat menghasilkan buku ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia (Katalog Jurusan Sastra Indonesia, Edisi 2008). Untuk mencapai kompetensi tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Selain mahasiswa dituntut menguasai proses dan langkah-langkah penulisan yang benar sehingga dapat menghasilkan karya berupa buku ilmiah sesuai target; pengampu matakuliah ini juga dituntut mampu memilih dan menerapkan strategi perkuliahan secara benar dan mantap.
Menyadari kompetensi yang ingin dicapai matakuliah MBI ini cukup kompleks, matakuliah ini disajikan setelah matakuliah Dasar-dasar Menulis (DM) dan matakuliah Menulis Artikel dan Makalah (MAM). Matakuliah DM diarahkan pada pencapaian kompetensi menulis yang bersifat parsial, sedangkan matakuliah MAM dirahkan ada kompetensi pengembangan ide dalam bentuk tulisan pendek. Dengan demikian, peserta matakuliah MBI diharapkan sudah memiliki kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam menulis buku ilmiah.
Matakuliah yang jumlah pesertanya cukup sarat untuk ukuran matakuliah keterampilan (skill), yaitu antara 35 – 40 mahasiswa per kelas, mengakibatkan pelaksanaan perkuliahan ini tidak berjalan secara efektif dan kurang membuahkan hasil yang maksimal. Sinyalemen ini terlihat pada fenomena berikut. Pertama, sebagian mahasiswa masih belum mampu mengorganisasikan gagasan dengan runtut dan kohesif, belum mampu memberikan argumenatasi pada setiap pernyataan yang disampaikan, dan belum menunjukkan kemandirian dan kekreativitasan dalam menulis. Usaha untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan pengampu matakuliah MBI dengan memberikan penjelasan teoretis dan contoh penerapannya. Akan tetapi, untuk matakuliah keterampilan, memberikan contoh dan penjelasan yang lengkap tidaklah cukup. Praktik yang intensif dan pemberian umpan balik yang terus-menerus diperlukan dan sangat berperan dalam perbaikan karya tulis mahasiswa.
Pemberian umpan balik secara perseorangan telah dilakukan. Namun, upaya itu sangat memakan waktu karena pegampu MBI pada umumnya menangani lebih dari satu kelas. Akibatnya, hasil umpan balik yang diberikan kepada mahasiswa sering terlambat sehingga menghambat target penulisan yang dilakukan mahasiswa. Ketika pengampu melakukan umpan balik secara kolektif berdasarkan kesalahan umum yang dibuat mahasiswa, tetap saja tidak membantu meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap kekurangan yang terdapat dalam tulisan meeka. Peneliti berpendapat bahwa kemandirian mahasiswa untuk memeriksa dan untuk meningkatkan kemampuan menulis mereka sangatlah kurang.
Gambaran tersebut juga dapat ditengarai bahwa pembelajaran MBI masih atau lebih berokus pada hasil, bukan pada proses. Padahal, pendekatan pembelajaran yang dianggap terbaik untuk saat ini adalah pendekatan proses. Dalam pendekatan produk, mahasiswa lebih ditekankan untuk menulis topik tertentu untuk kemudian dinilai. Sementara itu, dalam pendekatan proses, para mahasiswa melaksanakan tahapan-tahapan menulis yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari brainstorming, drafting, revising, dan editing. Dengan lebih menekankan pada proses diharapkan mahasiswa akan lebih mandiri dan memahamil angkah-langkah untuk menghasilkan suatu tulisan yang baik.
Salah satu cara yang dipandang dapat mendukung pendekatan proses dalam pembelajaran MBI adalah penggunaan strategi Colaborative Writing (CW). Dengan penerapan strategi CW, mahasiswa lebih mandiri dan aktif memberikan umpan balik dalam setiap tahapan penulisan. Umpan balik dari sesama mahasiswa (peer-response) ini akan lebih cepat diterima mahasiswa yang bersangkutan; dan perbaikannya pun akan lebih cepat dilakukan.
Mengapa Collaborative Writing Menjadi Pilihan?
Konsep collaborative writing (CW) ini merupakan derivasi dari konsep collaborative learning (CL), yang menurut Gokhale (1995) diartikan sebagai suatu strategi pembelajaran yang melibatkan mahasiswa dalam aktivitas kelompok kecil (minimal dua orang) untuk mencapai tujuan akademik tertentu. Melalui cara belajar seperti diskusi dan aktivitas pertukaran ide, mahsiswa mendapatkan porsi lebih untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran sekaligus belajar mengemban tanggung jawab akan kelancaran jalannya proses pembelajaran. Jadi, CW bukan menulis bersama-sama atau menulis berjamaah.
Teknik ini tentunya jauh berbeda dengan teknik pengajaran tradisional yang cenderung memberikan fokus pada aspek teori dan didominasi oleh dosen. Dalam teknik kolaboratif ini, mahasiswa didorong untuk berani berpartisipasi aktif melalui diskusi dan memberikan penilaian atau respons terhadap ide atau pendapat orang lain.
CW merupakan strategi pembelajaran menulis yang melibat pihak lain dalam proses penulisan. Pihak lain yang disebut kolaborator ini “memantau” setiap tahapan penulisan dengan cara memberikan penilaian dalam bentuk komentar dan catatan perbaikan. Berdasarkan penilaian kolaborator, penulis memperbaikinya. Begitu seterusnya sampai pada langkah terakhir.
Menurut Alwasilah (2000), strategi CW ini memiliki sejumlah kelebihan sebagai berikut:
(a) menanamkan kerjasama dan toleransi terhadap pendapat orang lain dan meningkatkan kemampuan memformulasi dan menyatakan gagasan;
(b) menanamkan sikap akan menulis sebagai suatu proses karena kerja kelompok menekankan revisi, memungkinkan mahasiswa yang agak lemah mengenal tulisan karya sejawat yang lebih kuat;
(c) mendorong mahasiswa saling belajar dalam kerja kelompok, dan menyajikan suasana kerja yang akan mereka alami dalam dunia professional di masa mendatang; dan
(d) membiasakan koreksi diri dan menulis draf secara berulang, dimana mahasiswa sebagai penulis menjadi pembacanya yang paling setia.
Secara hakikat, CW adalah sebuah proses sosial dimana para penulis saling mencari pemahaman bersama. Untuk memperoleh pemahaman tersebut, setiap anggota berperan sesuai dengan sejumlah aturan interaksi dan aturan sosial. Anggota-anggota ini membangun tujuan yang sama; mereka memiliki pengetahuan yang berlainan; mereka berinteraksi dalam satu kesatuan; dan mereka mengambil jarak dengan teks (Barnum,1994.).
Berdasarkan hasil studi Alwasilah (2000) yang melibatkan 30 mahasiswa PPS UPI Bandung ihwal CW terungkap bahwa CW itu:
(a) menyadarkan mahasiswa akan kompleksitas menulis dan akan kelemahan diri;
(b) sebagai strategi dalam mengajarkan menulis pada berbagai tingkat pendidikan dari SD sampai PT; dan
(c) memotivasi mahasiswa untuk menulis, mempelajari cara orang lain menulis dan membaca referensi lebih banyak.
Di samping kelebihan-kelebihan di atas, strategi CW ada beberapa kekurangan, dan yang terutama adalah (1) sulitnya mendapatkan sejawat yang dapat bekerja sama, (2) dalam kerja kelompok seringkali didapat terlalu banyak alternatif atau saran perbaikan yang membingungkan dan (3) menyita banyak waktu dosen dan mahasiswa (Alwasilah, 2000).
Pemilihan dan penggunaan strategi CW untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam perkuliahan MBI didasarkan atas kajian teori terkait dengan penelitian tindakan kelas (classroom action reserach) – yang lebih dikenal dengan istilah PTK – yang diperlukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Nelson (2000) mendefinisikan PTK sebagai proses reflektif yang sistematis untuk meningkatkan pengajaran dan pemahaman perorangan. Sementara itu Winter dalam Skerrit (1996:14) menyatakan bahwa PTK merupakan gabungan dari evaluasi diri dan pengembangan profesional. Dengan demikian, penerapan strategi CW ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mengevaluasi perkuliahan MBI yang berlangsung selama ini, dan sekaligus untuk mengembangkan profesionalitas peneliti sebagai pengampu matakuliah MBI.
Terkait dengan pengajaran menulis (writing), Kern (2000:180-184) menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi orientasi dalam pengajaran menulis, yaitu pendekatan produk, dan pendekatan proses. Pendekatan produk lebih mementingkan form tekstual, dengan lebih mengajarkan tata bahasa, analisis kesalahan, atau mengkombinasikan kalimat tunggal menjadi kalimat majemuk. Di samping itu, mahasiswa diajarkan untuk menulis dengan meniru model yang sudah ada. Hal ini mengabaikan aspek kognitif dari menulis. Menulis dipandang sebagai tindakan linguistik. Dalam pendekatan proses, Cumming dalam Reid (1993) menyatakan bahwa menulis adalah negosiasi makna antara penulis dan pembaca yang melibatkan proses berkesinambungan mulai dari rancangan sampai proses revisi. Menurutnya, tahapan dalam menulis terdiri dari prewriting, drafting and revising. Dalam prewriting, mahasiswa mengeluarkan ide untuk menemukan topik yang akan mereka tulis. Setelah menemukan ide, mereka membuat rancangan (drafting) yang kelak direvisi (revising) dan ditulis ulang sampai selesai. Proses ini akan mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sementara itu, menurut Shih (dalam Brown, 2001:335) proses menulis mencakup beberapa langkah. Pertama, dosen membantu mahasiswa untuk memahami proses menulis mereka sehingga mereka mampu menemukan strategi yang sesuai. Selanjutnya, mahasiswa diberi waktu yang cukup untuk menulis dan merevisi tulisannya. Mahasiswa didorong untuk menuangkan apa yang ingin mereka sampaikan melalui tulisannya. Kemudian, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa lainnya untuk memberikan umpan balik sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan umpan balik dari dosen tetapi juga dari teman sejawat. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat mandiri (autonomous).
Mengenai kemandirian mahasiswa dalam belajar (learning autonomy), Benson (dalam Nunan, 2003:290) mendefinisikan kemandirian mahasiswa sebagai kemampuan untuk mengawasi pembelajarannya sendiri. Dengan demikian, kemandirian belajar mencerminkan kesadaran mahasiswa untuk memenuhi kebutuhannya dalam belajar. Sementara itu, Little (dalam Nunan, 2003) mengatakan bahwa learning autonomy adalah kemampuan untuk “berdiri sendiri, refleksi kritis, membuat keputusan, dan bertindak mandiri”. Dengan demikian, mahasiswa menyadari bahwa sebagai pembelajar, ia harus bertanggung jawab atas kebutuhannya untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu. Kemandirian mahasiswa dapat ditingkatkan dengan beberapa prinsip yang mencakup: (1) melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran, (2) memberikan pilihan pembelajaran dan sumber pembelajaran, (3) memberikan kesempatan untuk memilih dan memutuskan, (4) memberikan semangat kepada mahasiswa, dan (5) mendorong mahasiswa untuk melakukan refleksi (Benson dalam Nunan, 2003:291).
Penggunaan CL dalam pengajaran menulis telah banyak digunakan dalam dekade terakhir. Pembelajaran kolaboratif dapat diartikan sebagai kumpulan konsep dan teknik untuk menambah nilai interaksi antar mahasiswa (Reid, 1993). Dalam proses menulis, CL dapat meningkatkan kesadaran diri dan kepercayaan diri mahasiswa (Duin dalam Haley, 1999). Keuntungan lain dari CL adalah memberikan penilaian yang otentik bagi setiap mahasiswa (sebagai kolaborator), dan memberikan kesempatan untuk berdiskusi yang membantu mereka mendapatkan ide dan umpan balik (Bruffee, 1999; Cooper, 1995; Cooper dan Mueck, 1989; Slavin; 1995)
Menurut Blanton (1992), CL dalam kelompok kecil membuat menulis menjadi lebih mudah. Hal ini karena dalam proses menulis yang meliputi drafting, revising, reading, dan editing mahasiswa melakukannya secara bersama-sama. Para mahasiswa saling bertukar informasi dan memberikan respons untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Selain meningkatkan keterampilan menulis, CL juga dapat meningkatkan kemandirian mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh Dunn, 1996; Louth dkk, 2001; Scheffler dkk,1992; Stanier, 1997; dan Wright dkk, 1993 menunjukkan bahwa CL dapat merangsang mahasiswa untuk berpartisipasi aktif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Graves (1983) menunjukkan bahwa pemberian umpan balik oleh mahasiswa memberikan dampak positif. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Kantor (1984) yang menunjukkan bahwa CL dapat mengubah sikap egosentris menjadi kesadaran akan adanya pembaca sehingga mereka lebih memperhatikan strategi untuk perbaikan karya tulisnya.
Dalam hal kemandirian belajar mahasiswa, dosen tetap berperan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab untuk memberikan tugas dan mengelola kelas untuk merangsang mahasiswa belajar (Weiner dalam Reid, 1993). Pemantauan dosen ketika mahasiswa melakukan ”kolaborasi” dengan teman sekelompoknya sangat diperlukan.
Bagaimana Langkah Pengembangan Strategi Collaborative Writing dalam Matakuliah MBI
Sebagai upaya perbaikan pembelajaran, langkah pengembangan strategi CW dalam matakuliah MBI ini tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan dalam PTK, yaitu (1) merencanakan perbaikan, (2) melaksanakan tindakan, (3) mengamati, dan (4) melakukan refleksi.
Sebelum merencanakan perbaikan terlebih dahulu dilakukan ”refleksi awal” berupa identifikasi masalah, analisis masalah, dan perumusan masalah. Identifikasi masalah – bagaikan seorang dokter mendiagnosis penyakit pasien – ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri tentang perkuliahan MBI. Setelah masalah teridentifikasi, masalah perlu dianalisis dengan cara melakukan refleksi dan menelaah berbagai dokumen yang terkait. Dari hasil analisis, dipilih dan dirumuskan masalah yang paling mendesak dan mungkin dipecahkan oleh dosen. Masalah kemudian dijabarkan secara operasional agar dapat memandu usaha perbaikan. (Lihat uraian pada butir Konteks di atas)
Setelah masalah dijabarkan, langkah berikutnya adalah mencari atau mengembangkan alternatif perbaikannya, yang dilakukan dengan mengkaji teori, mengkaji hasil penelitian yang relevan, berdiskusi dengan teman sejawat dan pakar, serta menggali pengalaman sendiri. Berdasarkan hasil yang dicapai dalam langkah ini, dikembangkan cara perbaikan atau tindakan yang sesuai dengan kemampuan dan komitmen dosen, kemampuan mahasiswa, sarana dan fasilitas yang tersedia, serta iklim pembelajaran di kelas sasaran. (Lihat uraian pada butir Mengapa Collaborative Writing menjadiPilihan? di atas)
Pelaksanaan tindakan dimulai dengan mempersiapkan rencana perkuliahan dan skenario tindakan, termasuk bahan perkuliahan dan tugas-tugas yang harus dikerjakan, menyiapkan alat pendukung atau sarana lain yang diperlukan, mempersiapkan cara merekam dan menganalisis data, serta melakukan simulasi pelaksanaan jika diperlukan.
- Rencana Perbaikan Perkuliahan (RPP) dibuat dengan menggunakan format yang hampir sama dengan format Lesson Plan atau Satauan Acara Perkuliahan (SAP). Bedanya, dalam RPP terdapat tujuan perbaikan, deskripsi kegiatan lebih rinci, tugas-tugas dan kriteria penilaian dicantumkan secara lengkap. Format RPP dapat disesuaikan dengan gaya selingkung.
- Untuk membuat RPP yang akurat dan dapat diandalkan dalam pelaksanaan, perlu dilakukan langkah-langkah: (1) membuat skenario pembelajaran, (2) menyiapkan sarana dan fasilitas pembelajaran, (3) menyusun RPP secara lengkap, (4) mensimulasikan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan RPP untuk melihat kelayakannya, dan (5) menyempurnakan RPP berdasarkan hasil simulasi.
- Prosedur dan alat pengumpul data ditentukan berdasarkan masalah dan tujuan perbaikan. Jika dosen meminta teman sejawat untuk mengobservasi pelaksanaan perbaikan, lembar observasi harus disepakati terlebih dahulu. Karena data yang dikumpulkan lebih cenderung kepada data kualitatif, maka prosedur dan alat pengumpul data dapat berupa observasi dengan menggunakan lembar observasi, wawancara berdasarkan panduan wawancara, catatan dosen, dan refleksi.
(Lihat bahan perkuliahan ”Bagian 1 Mengapa Anda Menulis?” terlampir, yang dikembangkan dari Topik 1 yang terdapat dalam RPP Matakuliah MBI)
Dalam melaksanakan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi dilakukan secara simultan. Aktor utama adalah dosen, namun dosen dapat dibantu oleh alat perekam data atau teman sejawat sebagai pengamat. Agar pelaksanaan tindakan sesuai dengan kaidah PTK, perlu diterapkan kriteria berikut.
Metodologi penelitian jangan sampai mengganggu komitmen dosen sebagai pengampu matakuliah.
Pengumpulan data jangan sampai menyita waktu dosen terlampau banyak.
Metodologi harus reliabel (handal) hingga dosen dapat menerapkan strategi yang sesuai dengan situasi kelasnya.
Masalah yang ditangani dosen harus sesuai dengan kemampuan dan komitmennya.
Dosen harus memperhatikan berbagai aturan (etika) yang berkaitan dengan tugasnya.
PTK harus dilakukan dalam situasi yang alami sehingga tidak mengganggu program perkuliahan.
Setelah melakukan persiapan akhir, dosen siap untuk melakukan tindakan perbaikan. Pelaksanaan tindakan perbaikan berlangsung di kelas dosen sendiri sesuai dengan RPP yang telah disiapkan. Selama pelaksanaan perbaikan, di samping mengajar, dosen mengumpulkan data, yang dapat dilakukan dengan bantuan teman sejawat atau tanpa bantuan. Oleh karena itu, dosen perlu membuat catatan setiap kesempatan, atau segera mencatat peristiwa penting setelah perkuliahan usai.
Perlu disadari bahwa keberhasilan tindakan perbaikan banyak tergantung dari keyakinan dosen akan langkah-langkah yang telah disiapkan, kesiapan dosen untuk melakukan perbaikan, dan tentu saja komitmen dan kerja keras dosen. Oleh karena itu, kredibelitas dosen dalam pelaksanaan tindakan perbaikan ini sangatlan dipertaruhkan.
Pengumpulan data pelaksanaan tindakan dapat dilakukan dengan berbagai teknik, seperti: observasi, catatan harian, rekaman, angket, wawancara, dan analisis dokumen hasil belajar mahasiswa. Tahap observasi dan interpretasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan perbaikan. Selain untuk menginterpretasikan peristiwa yang muncul sebelum direkam, interpretasi juga membantu dosen melakukan penyesuaian. Observasi yang efektif berlandaskan pada lima prinsip dasar, yaitu: (1) harus ada perencanaan bersama antara dosen dan pengamat, (2) fokus observasi harus ditetapkan bersama, (3) dosen dan pengamat harus membangun kriteria observasi bersama-sama, (4) pengamat harus memiliki keterampilan mengobservasi, dan (5) observasi akan bermanfaat jika balikan diberikan segera dan mengikuti berbagai aturan. Ada empat jenis observasi yang dapat dipilih, yaitu: observasi terbuka, observasi terfokus, observasi terstruktur, dan observasi sistematik. Observasi yang bertujuan memantau proses dan dampak perbaikan dilakukan dengan mengikuti tiga langkah yang merupakan satu siklus yang selalu berulang, yaitu: pertemuan pendahuluan (perencanaan), pelaksanaan observasi, dan diskusi balikan.
Selain melalui observasi, data mengenai pembelajaran dapat dikumpulkan melalui catatan/laporan harian dosen, catatan harian mahasiswa, wawancara (antara dosen dan mahasiswa, pengamat dan mahasiswa, serta pengamat dan dosen), angket, dan telaah berbagai dokumen. Data penelitian pada dasarnya dikumpulkan oleh dosen yang berperan sebagai peneliti dan pengajar, dan jika perlu dapat dibantu oleh teman sejawat. Data tersebut lebih banyak bersifat kualitatif, meski ada juga yang berupa data kuantitatif.
Analisis data adalah upaya yang dilakukan oleh dosen yang berperan sebagai peneliti untuk merangkum secara akurat data yang telah dikumpulkan dalam bentuk yang dapat dipercaya dan benar. Analisis data dilakukan dengan cara memilih, memilah, mengelompokkan, data yang ada, merangkumnya, kemudian menyajikan dalam bentuk yang mudah dibaca atau dipahami. Penyajian hasil analisis data kualitatif dapat dibuat dalam bentuk uraian singkat, bagan alur, atau tabel sesuai dengan hakikat data yang dianalisis. Data kuantitatif dianalisis dengan statistik deskriptif untuk menemukan persentase, dan nilai rata-rata. Penyajian hasil analisis dapat dilakukan dengan membuat tabel distribusi atau grafik.
Berdasarkan hasil analisis, selanjutnya dilakukan interpretasi dan refleksi. Interpretasi data adalah upaya peneliti untuk menemukan makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Interpretasi ini pada gilirannya akan menjadi temuan penelitian. Analisis yang akurat dan cara penyajian yang tepat akan memungkinkan tafsiran/interpretasi hasil penelitian yang akurat dan valid itu. Oleh karena itu, dosen harus sangat berhati-hati dalam melakukan analisis. Kekurang-akuratan dapat diminimalkan dengan melakukan "cross check" dengan sumber data atau dengan data lain yang sejenis.
Refleksi dilakukan setelah data pembelajaran diolah, atau setelah dosen mempunyai gambaran tentang keberhasilan/kegagalan atau kekuatan/kelemahan tindakan perbaikan yang dilakukan. Kekuatan ingatan dan kejujuran dalam melakukan refleksi akan sangat membantu dosen menemukan kekuatan dan kelemahan tindakan perbaikan yang telah dilakukan sehingga dapat dihasilkan masukan yang bermakna bagi perencanaan daur berikutnya. Berdasarkan hasil refleksi, dosen melakukan perencanaan tindak lanjut, yang dapat berupa revisi dari rencana lama, yang berfokus pada bagian-bagian yang dinilai masih mempunyai kekurangan atau kelemahan.
Penutup
Pengembangan strategi CW dalam perkuliahan MBI sudah diterapkan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Jurusan Sastra Indonesia Fakulktas Sastra Universitas Negeri Malang sejak Semester Gasal 2007/2008. Sampai saat ini masih dalam taraf perbaikan mulai dari perbaikan bahan pekuliahan, panduan kegiatan penulisan, panduan kolaborator, sampai dengan kriteria penilaian akhir.
Pada tahun kedua ini (Semester Gasal 2008/2009) penerapan strategi CW dalam perkuliahan MBI telah menunjukkan hasil yang signifikan. Dari 22 mahasiswa yang aktif mengikuti perkuliahan, 10 mahasiswa mendapatkan nilai A, 8 mahasiswa mendapatkan nilai A-, 1 mahasiswa mendapat nilai B+, 3 mahasiswa mendapatkan nilai K (karena yang bersangkutan tidak/belum dapat menyelesaikan tugas final sampai dengan batas toleransi yang diberikan).
Pada dua tahun terakhir ini diharapkan sudah menghasilkan perangkat perkuliahan MBI dengan menggunakan strategi CW yang sudah mantap. Oleh karena itu, saran dan ide-ide inovatif dari para peserta seminar ini sangat dinantikan demi penyempurnaan program pengembangan strategi CW ini.
Pustaka Acuan
Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Andira: Bandung.
Alwasilah, A. Chaedar. 2005. Pokoknya Menulis: Cara Baru Menulis dengan Metode Kolaborasi. Kiblat: Bandung.
Barnum, Carol M. 1994. “Collaborative Writing in Graduate Technical Communication: Is There a Difference?” Journal of Technical Writing and Communication 24(4):405-419.
Blanton, L.L. 1992. Reading, Writing, and Authority: Issues in Developmental ESL. College ESL, 2(1), 11-19
Brown, Douglas, H. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Bruffee, Kenneth A. 1999. Collaborative Learning: Higher Education, Interdependence, and the Authority of Knowledge. 2nd edition. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Cooper, James L. and Randall Mueck. 1989. “Cooperative/Collaborative Learning: Research and Practice (Primarily) at the collegiate Level.” The Journal of Staff, Program & Organization Development. 7(3):143-148.
Cooper, Melanie. 1995. “Cooperative Learning: An Approach for Large Enrollment Courses.” Journal of Chemical Education 72(2):162-164.
Dunn, Dana S.. 1996. “Collaborative Writing in a Statistics and Research Methods Course.” Teaching of Psychology, Vol. 23, 1996
Gokhale, Anurdha, A. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. An Online Article. Available at http://skepdic.com
Graves, Donald H. 1983. Writing: Teachers and Children at Work. New Hampshire: Heinemann
Haley, Darryl E. 1999. Collaborative Writing: Some Late 20th Century Trends. East Tennessee State University
Kantor, Kenneth J. 1984. Classroom Contexts and the Development of Writing Institution: An Ethnographyc Case Study. New York: Guilford.
Louth, Richard, Carole McAllister, and Hunter A. McAllister. 1993. “The Effects of Collaborative Writing Techniques on Freshman Writing and Attitudes.” Journal of Experimental Education 61(3):215-224.
Nelson, S. 2000. “Teaching collaborative writing and peer review techniques to engineering and technology undergraduates.” Frontiers in Education Conference, Volume 2, Issue , 2000 Page(s):S2B/1 - S2B/5 vol.2
Nunan, David. 2003. Practical English Language Teaching. New York: Mc Graw-Hill.
Nunan, David. 2004. Practical English Language Teaching. The MacGraw Hill Companies: Singapore
Reid, Joy.M. 1993. Teaching ESL Writing. New Jersey: Prentice Hall Regents
Scheffler, Judith. 1992. “Using Collaborative Writing Groups to Teach Analysis of an RFP (My Favorite Assignment).” The Bulletin of the Association for Business Communication 55(2):26-28.
Skerrit, Zuber. 1996. New Directions in Action Research. London: The Falmer Press
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. Boston: Allyn and Bacon.
Stanier, Linda. 1997. “Peer Assessment and Group Work as Vehicles for Student Empowerment: A Module Evaluation.” Journal of Geography in Higher Education 21(1):95-98.
Wright, W. Alan, Eileen M. Herteis, and Brad Abernethy. 2001. Learning Through Writing: A Compendium of Assignments and Techniques, Revised edition. Halifax, Canada: Office of Instructional Development and Technology, Dalhousie University.
Lampiran Bahan Perkuliahan Bagan 1
Bagian 1
Mengapa Anda Menulis?
Sebagai bagian dari komunitas akademik, Anda tidak mungkin lepas dari kegiatan tulis-menulis, mulai dari yang berbentuk makalah, laporan hasil kuliah kerja lapangan, laporan hasil penelitian, sampai dengan karya tulis ilmiah lainnya (skripsi, tesis, disertasi). Serangkaian kegiatan yang telah mentradisi di lingkungan komunitas akademik ini pada dasarnya adalah forum atau sarana penyampaian informasi baru, gagasan, kajian, atau temuan hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang-bidang keilmuan yang Anda geluti. Lewat forum inilah Anda diharapkan bisa lebih memahami, mendalami, dan mengembangkan disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, akan naif rasanya apabila ada sebagian komunitas akademik – termasuk Anda? – dengan sengaja menghindari kegiatan-kegiatan tulis-menulis tersebut.
Sejak Anda duduk di bangku SD, SMP, dan SMA telah mendapatkan pelajaran menulis. Dengan demikian, mestinya teori menulis sudah Anda ketahuai bahkan Anda pahami dengan baik. Tetapi, mengapa sampai saat ini sebagian besar di antara Anda masih saja merasakan kegiatan menulis sebagai beban? Bagaimana “status” pengetahuan dan pemahaman Anda tentang teori menulis?
Kondisi yang menimpa pada diri Anda tersebut tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Anda. Banyak faktor penyebabnya. Penerapan pembelajaran menulis yang selama ini menonjolkan banyak teori dan mengesampingkan praktik, akan membuahkan “rasa takut” menulis. Sebagian besar guru yang mengajarkan menulis pun tidak mampu menunjukkan “model” sebagai sosok penulis yang dapat ditiru atau dicontoh oleh siswanya. Akibatnya bisa ditebak bahwa siswa kehilangan panutan. Mereka hanya “tahu tentang menulis tetapi tidak bisa menerapkannya.”
Sebagai sebuah keterampilan, kemampuan menulis tak ubahnya dengan kemampuan bersepeda. Walaupun Anda mempunyai pengetahuan tentang cara mengayunkan pedal sepeda, cara memegang setir, dan cara duduk di sadel, apabila tidak pernah berlatih yang terus-menerus, Anda sampai kapan pun tidak akan pernah mampu bersepeda. Ketika awal berlatih bersepeda, Anda jatuh, menabrak pagar, bahkan masuk selokan, merupakan hal biasa bagi pemula. Yang penting, hasil akhirnya Anda dapat bersepeda dengan lancar. Kemampuan menulis pun demikian. Ketika awal berlatih menulis, Anda akan mengalami kegagalan dalam menyusun kalimat, memilih dan membentuk kata, menyusun paragraf, menulis ejaan dan tanda baca. Hal itu sudah biasa. Yang penting, dengan belajar dari kegagalan itu, Anda dapat memperbaikinya setahap demi setahap yang akhirnya membuahkan karya tulis yang baik.
Menyadari kelemahan pembelajaran menulis yang selama ini masih menonjolkan teori, pembelajaran menulis kali ini diarahkan sebaliknya. Anda akan diajak langsung menulis yang dibarengi dengan pengamatan dan pemahaman kiritis terhadap model-model tulisan yang sering Anda jumpai. Kegiatan yang dikemas dengan srategi collaborative writing ini, akan menggiring Anda untuk terampilan menulis secara maksimal. Insyaallah!
PASTIKAN ANDA MAMPU MENULIS.
YAKINLAH, DENGAN KEMAMPUAN MENULIS, PELUANG ANDA MERAIH CITA-CITA LEBIH TERBUKA.
Kegiatan 1
Berbagilah ke dalam kelompok terdiri atas 4 – 5 orang. Upayakan setiap kelompok berjarak yang cukup agar ketika berdiskusi kelompok, Anda tidak terganggu oleh “suara” kelompok lain.
Diskusikan permasalahan di bawah ini selama 15 menit. Setelah itu, laporkan hasilnya di depan kelas.
1. Refleksikan pengalaman Anda. Ketika Anda mendapatkan pelajaran menulis di SD, SMP, dan SMA (atau yang sederajat), pengetahuan apa yang selalu Anda praktikkan ketika menulis?
2. Kesulitan dan keraguan apa yang Anda rasakan ketika Anda menulis? Bagaimana Anda menanggulagi kesulitan dan keraguan itu?
3. Apakah cara atau strategi yang dilakukan guru Anda ketika memberikan pelajaran menulis? Apakah cara itu Anda senangi atau tidak Anda senangi? Mengapa Anda merasakan demikian?
4. Kompetensi apa yang Anda inginkan dalam pelajaran menulis? Mengapa Anda menginginkan demikian?
5. Ketika Anda memasuki jenjang perguruan tinggi, Anda masih mendapatkan matakuliah Menuis Buku Ilmiah. Apakah Anda masih menganggap perlu menempuhnya? Jika perlu, apa yang Anda inginkan dalam matakuliah tersebut? Mengapa Anda menginginkan demikian?
KOMENTAR DAN TANGGAPAN POSITIF ANDA INI MERUPAKAN BUKTI BAHWA ANDA MEMPUNYAI KESADARAN AKAN PENTINGNYA MATAKULIAH MENULIS BUKU AJAR.
DENGAN KESADARAN TERSEBUT DIHARAPKAN ANDA MEMPUNYAI KEPEDULIAN YANG TINGGI TERHADAP SEMUA KEGIATAN YANG DAPAT MEMUPUK KETERAMPILAN MENULIS BUKU ILMIAH.
Kegiatan 2
Sebagai pancingan, carilah satu buku ilmiah yang paling Anda kesani, terutama buku yang terkait dengan bidang studi yang sedang Anda dalami!
1. Bacalah dengan cepat buku yang telah Anda pilih tersebut untuk mendapatkan ide secara keseluruhan!
2. Bacalah sekali lagi untuk memperoleh detail isinya!
3. Tandailah bagian-bagian yang menjadi perhatian Anda, dengan cara melingkari, menggarisbawahi, menandai, atau mengomentarinya. Perhatian Anda bisa karena tertarik, ragu, penasaran, maupun terkejut atas isi, bahasa, pemikiran yang terdapat di dalamnya.
4. Tulislah komentar Anda secara bebas tentang buku yang telah Anda cermati tersebut! Komentar Anda dapat berupa kelebihan dan kekurangan apa saja ang terdapat buku, atau hal-hal lain yang terlintas di pikiran Anda.
5. Sampaikan komentar Anda di depan kelompok untuk mendapatkan tanggapan balik dari anggota kelompok! Lakukan secara bergantian!
RANGKAIAN KEGIATAN TERSEBUT MERUPAKAN STRATEGI MEMBACA KRITIS.
STRATEGI MEMBACA DEMIKIAN MESTINYA HARUS ANDA BIASAKAN SETIAP ANDA MEMBACA BUKU ILMIAH SEBAGAI BAGIAN DARI STRATEGI BELAJAR.
KALAU KEBIASAAN INI ANDA LAKUKAN, ANDA AKAN SEBAGAI SOSOK ILMUWAN YANG KRITIS.
Kegiatan 3
Pada kegiatan ini Anda “dipaksa” untuk dapat menulis. Sebab, pada dasarnya Anda mempunya kompetensi menulis, yang berpotensi sama dengan penulis-penulis professional lainnya. Anda harus dapat membuktikannya!
1. Nah, sekarang tulislah sebuah esai bebas berupa respons atas buku yang sudah Anda baca di atas! Esai Anda dapat fokuskan pada isi buku, teori yang digunakan atau yang dirujuk, bahasa yang digunakan, cara penyajian, atau hal apa saja yang terlntas pada pikiran Anda atas buku tersebut.
2. Esai Anda harus Anda tulis dengan media komputer, berjarak dua spasi, huruf Arial, 12 poin, minimal 500 kata, dengan ukuran kertas A4.
3. Ketika menulis esai, Anda harus memperhatikan tatacara penulisan yang benar, mulai dari pemilihan dan pembentukan kata, penyusunan kalimat, pengembangan paragraf, sampai dengan pemakaian ejaan dan tanda baca.
4. Berillah judul yang menarik, singkat, menantang, dan provokaif! Jangan menggunakan judul yang telah dipakai oleh orang lain! Anda harus kreatif.
5. Di bawah judul cantumkan nama Anda!
6. Di sudut kiri atas halaman pertama cantumkan:
Tanggal:
Draf : 1, 2, dst.
Revisi : 1, 2, dst.
7. Di akhir karangan cantumkan:
Kolaborator 1: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 2: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 3: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 4: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
8. Serahkan hasil esai Anda pada pertemuan yang akan datang.
ANDA TERNYATA MEMPUNYAI KOMPETENSI MENULIS. BAGAIMANA PERASAAN ANDA KETIKA MENULIS ESAI? APAKAH ADA KERAGUAN? DALAM HAL APA ANDA RAGU MENULIS?
SAMPAIKAN DI DEPAN KELAS UNTUK MENDAPATKAN RESPONS DARI TEMAN.
dalam Peningkatan Kemampuan Menulis Mahasiswa
pada Matakuliah Menulis Buku Ilmiah
Oleh Masnur Muslich
Konteks
Dalam Struktur Kurikulum Program Studi Bahasa dan Sastra Indoneia S1 pada Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Univesitas Negeri Malang, matakuliah Menulis Buku Ilmiah (MBI) merupakan kelompok Matakuliah Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diberi bobot 3 sks dan 4 js. Matakuliah yang disajikan pada semester V ini bertujuan agar mahasiswa dapat menghasilkan buku ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia (Katalog Jurusan Sastra Indonesia, Edisi 2008). Untuk mencapai kompetensi tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Selain mahasiswa dituntut menguasai proses dan langkah-langkah penulisan yang benar sehingga dapat menghasilkan karya berupa buku ilmiah sesuai target; pengampu matakuliah ini juga dituntut mampu memilih dan menerapkan strategi perkuliahan secara benar dan mantap.
Menyadari kompetensi yang ingin dicapai matakuliah MBI ini cukup kompleks, matakuliah ini disajikan setelah matakuliah Dasar-dasar Menulis (DM) dan matakuliah Menulis Artikel dan Makalah (MAM). Matakuliah DM diarahkan pada pencapaian kompetensi menulis yang bersifat parsial, sedangkan matakuliah MAM dirahkan ada kompetensi pengembangan ide dalam bentuk tulisan pendek. Dengan demikian, peserta matakuliah MBI diharapkan sudah memiliki kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam menulis buku ilmiah.
Matakuliah yang jumlah pesertanya cukup sarat untuk ukuran matakuliah keterampilan (skill), yaitu antara 35 – 40 mahasiswa per kelas, mengakibatkan pelaksanaan perkuliahan ini tidak berjalan secara efektif dan kurang membuahkan hasil yang maksimal. Sinyalemen ini terlihat pada fenomena berikut. Pertama, sebagian mahasiswa masih belum mampu mengorganisasikan gagasan dengan runtut dan kohesif, belum mampu memberikan argumenatasi pada setiap pernyataan yang disampaikan, dan belum menunjukkan kemandirian dan kekreativitasan dalam menulis. Usaha untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan pengampu matakuliah MBI dengan memberikan penjelasan teoretis dan contoh penerapannya. Akan tetapi, untuk matakuliah keterampilan, memberikan contoh dan penjelasan yang lengkap tidaklah cukup. Praktik yang intensif dan pemberian umpan balik yang terus-menerus diperlukan dan sangat berperan dalam perbaikan karya tulis mahasiswa.
Pemberian umpan balik secara perseorangan telah dilakukan. Namun, upaya itu sangat memakan waktu karena pegampu MBI pada umumnya menangani lebih dari satu kelas. Akibatnya, hasil umpan balik yang diberikan kepada mahasiswa sering terlambat sehingga menghambat target penulisan yang dilakukan mahasiswa. Ketika pengampu melakukan umpan balik secara kolektif berdasarkan kesalahan umum yang dibuat mahasiswa, tetap saja tidak membantu meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap kekurangan yang terdapat dalam tulisan meeka. Peneliti berpendapat bahwa kemandirian mahasiswa untuk memeriksa dan untuk meningkatkan kemampuan menulis mereka sangatlah kurang.
Gambaran tersebut juga dapat ditengarai bahwa pembelajaran MBI masih atau lebih berokus pada hasil, bukan pada proses. Padahal, pendekatan pembelajaran yang dianggap terbaik untuk saat ini adalah pendekatan proses. Dalam pendekatan produk, mahasiswa lebih ditekankan untuk menulis topik tertentu untuk kemudian dinilai. Sementara itu, dalam pendekatan proses, para mahasiswa melaksanakan tahapan-tahapan menulis yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari brainstorming, drafting, revising, dan editing. Dengan lebih menekankan pada proses diharapkan mahasiswa akan lebih mandiri dan memahamil angkah-langkah untuk menghasilkan suatu tulisan yang baik.
Salah satu cara yang dipandang dapat mendukung pendekatan proses dalam pembelajaran MBI adalah penggunaan strategi Colaborative Writing (CW). Dengan penerapan strategi CW, mahasiswa lebih mandiri dan aktif memberikan umpan balik dalam setiap tahapan penulisan. Umpan balik dari sesama mahasiswa (peer-response) ini akan lebih cepat diterima mahasiswa yang bersangkutan; dan perbaikannya pun akan lebih cepat dilakukan.
Mengapa Collaborative Writing Menjadi Pilihan?
Konsep collaborative writing (CW) ini merupakan derivasi dari konsep collaborative learning (CL), yang menurut Gokhale (1995) diartikan sebagai suatu strategi pembelajaran yang melibatkan mahasiswa dalam aktivitas kelompok kecil (minimal dua orang) untuk mencapai tujuan akademik tertentu. Melalui cara belajar seperti diskusi dan aktivitas pertukaran ide, mahsiswa mendapatkan porsi lebih untuk terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran sekaligus belajar mengemban tanggung jawab akan kelancaran jalannya proses pembelajaran. Jadi, CW bukan menulis bersama-sama atau menulis berjamaah.
Teknik ini tentunya jauh berbeda dengan teknik pengajaran tradisional yang cenderung memberikan fokus pada aspek teori dan didominasi oleh dosen. Dalam teknik kolaboratif ini, mahasiswa didorong untuk berani berpartisipasi aktif melalui diskusi dan memberikan penilaian atau respons terhadap ide atau pendapat orang lain.
CW merupakan strategi pembelajaran menulis yang melibat pihak lain dalam proses penulisan. Pihak lain yang disebut kolaborator ini “memantau” setiap tahapan penulisan dengan cara memberikan penilaian dalam bentuk komentar dan catatan perbaikan. Berdasarkan penilaian kolaborator, penulis memperbaikinya. Begitu seterusnya sampai pada langkah terakhir.
Menurut Alwasilah (2000), strategi CW ini memiliki sejumlah kelebihan sebagai berikut:
(a) menanamkan kerjasama dan toleransi terhadap pendapat orang lain dan meningkatkan kemampuan memformulasi dan menyatakan gagasan;
(b) menanamkan sikap akan menulis sebagai suatu proses karena kerja kelompok menekankan revisi, memungkinkan mahasiswa yang agak lemah mengenal tulisan karya sejawat yang lebih kuat;
(c) mendorong mahasiswa saling belajar dalam kerja kelompok, dan menyajikan suasana kerja yang akan mereka alami dalam dunia professional di masa mendatang; dan
(d) membiasakan koreksi diri dan menulis draf secara berulang, dimana mahasiswa sebagai penulis menjadi pembacanya yang paling setia.
Secara hakikat, CW adalah sebuah proses sosial dimana para penulis saling mencari pemahaman bersama. Untuk memperoleh pemahaman tersebut, setiap anggota berperan sesuai dengan sejumlah aturan interaksi dan aturan sosial. Anggota-anggota ini membangun tujuan yang sama; mereka memiliki pengetahuan yang berlainan; mereka berinteraksi dalam satu kesatuan; dan mereka mengambil jarak dengan teks (Barnum,1994.).
Berdasarkan hasil studi Alwasilah (2000) yang melibatkan 30 mahasiswa PPS UPI Bandung ihwal CW terungkap bahwa CW itu:
(a) menyadarkan mahasiswa akan kompleksitas menulis dan akan kelemahan diri;
(b) sebagai strategi dalam mengajarkan menulis pada berbagai tingkat pendidikan dari SD sampai PT; dan
(c) memotivasi mahasiswa untuk menulis, mempelajari cara orang lain menulis dan membaca referensi lebih banyak.
Di samping kelebihan-kelebihan di atas, strategi CW ada beberapa kekurangan, dan yang terutama adalah (1) sulitnya mendapatkan sejawat yang dapat bekerja sama, (2) dalam kerja kelompok seringkali didapat terlalu banyak alternatif atau saran perbaikan yang membingungkan dan (3) menyita banyak waktu dosen dan mahasiswa (Alwasilah, 2000).
Pemilihan dan penggunaan strategi CW untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam perkuliahan MBI didasarkan atas kajian teori terkait dengan penelitian tindakan kelas (classroom action reserach) – yang lebih dikenal dengan istilah PTK – yang diperlukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Nelson (2000) mendefinisikan PTK sebagai proses reflektif yang sistematis untuk meningkatkan pengajaran dan pemahaman perorangan. Sementara itu Winter dalam Skerrit (1996:14) menyatakan bahwa PTK merupakan gabungan dari evaluasi diri dan pengembangan profesional. Dengan demikian, penerapan strategi CW ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mengevaluasi perkuliahan MBI yang berlangsung selama ini, dan sekaligus untuk mengembangkan profesionalitas peneliti sebagai pengampu matakuliah MBI.
Terkait dengan pengajaran menulis (writing), Kern (2000:180-184) menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi orientasi dalam pengajaran menulis, yaitu pendekatan produk, dan pendekatan proses. Pendekatan produk lebih mementingkan form tekstual, dengan lebih mengajarkan tata bahasa, analisis kesalahan, atau mengkombinasikan kalimat tunggal menjadi kalimat majemuk. Di samping itu, mahasiswa diajarkan untuk menulis dengan meniru model yang sudah ada. Hal ini mengabaikan aspek kognitif dari menulis. Menulis dipandang sebagai tindakan linguistik. Dalam pendekatan proses, Cumming dalam Reid (1993) menyatakan bahwa menulis adalah negosiasi makna antara penulis dan pembaca yang melibatkan proses berkesinambungan mulai dari rancangan sampai proses revisi. Menurutnya, tahapan dalam menulis terdiri dari prewriting, drafting and revising. Dalam prewriting, mahasiswa mengeluarkan ide untuk menemukan topik yang akan mereka tulis. Setelah menemukan ide, mereka membuat rancangan (drafting) yang kelak direvisi (revising) dan ditulis ulang sampai selesai. Proses ini akan mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sementara itu, menurut Shih (dalam Brown, 2001:335) proses menulis mencakup beberapa langkah. Pertama, dosen membantu mahasiswa untuk memahami proses menulis mereka sehingga mereka mampu menemukan strategi yang sesuai. Selanjutnya, mahasiswa diberi waktu yang cukup untuk menulis dan merevisi tulisannya. Mahasiswa didorong untuk menuangkan apa yang ingin mereka sampaikan melalui tulisannya. Kemudian, dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa lainnya untuk memberikan umpan balik sehingga mahasiswa tidak hanya mendapatkan umpan balik dari dosen tetapi juga dari teman sejawat. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat mandiri (autonomous).
Mengenai kemandirian mahasiswa dalam belajar (learning autonomy), Benson (dalam Nunan, 2003:290) mendefinisikan kemandirian mahasiswa sebagai kemampuan untuk mengawasi pembelajarannya sendiri. Dengan demikian, kemandirian belajar mencerminkan kesadaran mahasiswa untuk memenuhi kebutuhannya dalam belajar. Sementara itu, Little (dalam Nunan, 2003) mengatakan bahwa learning autonomy adalah kemampuan untuk “berdiri sendiri, refleksi kritis, membuat keputusan, dan bertindak mandiri”. Dengan demikian, mahasiswa menyadari bahwa sebagai pembelajar, ia harus bertanggung jawab atas kebutuhannya untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu. Kemandirian mahasiswa dapat ditingkatkan dengan beberapa prinsip yang mencakup: (1) melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran, (2) memberikan pilihan pembelajaran dan sumber pembelajaran, (3) memberikan kesempatan untuk memilih dan memutuskan, (4) memberikan semangat kepada mahasiswa, dan (5) mendorong mahasiswa untuk melakukan refleksi (Benson dalam Nunan, 2003:291).
Penggunaan CL dalam pengajaran menulis telah banyak digunakan dalam dekade terakhir. Pembelajaran kolaboratif dapat diartikan sebagai kumpulan konsep dan teknik untuk menambah nilai interaksi antar mahasiswa (Reid, 1993). Dalam proses menulis, CL dapat meningkatkan kesadaran diri dan kepercayaan diri mahasiswa (Duin dalam Haley, 1999). Keuntungan lain dari CL adalah memberikan penilaian yang otentik bagi setiap mahasiswa (sebagai kolaborator), dan memberikan kesempatan untuk berdiskusi yang membantu mereka mendapatkan ide dan umpan balik (Bruffee, 1999; Cooper, 1995; Cooper dan Mueck, 1989; Slavin; 1995)
Menurut Blanton (1992), CL dalam kelompok kecil membuat menulis menjadi lebih mudah. Hal ini karena dalam proses menulis yang meliputi drafting, revising, reading, dan editing mahasiswa melakukannya secara bersama-sama. Para mahasiswa saling bertukar informasi dan memberikan respons untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Selain meningkatkan keterampilan menulis, CL juga dapat meningkatkan kemandirian mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh Dunn, 1996; Louth dkk, 2001; Scheffler dkk,1992; Stanier, 1997; dan Wright dkk, 1993 menunjukkan bahwa CL dapat merangsang mahasiswa untuk berpartisipasi aktif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Graves (1983) menunjukkan bahwa pemberian umpan balik oleh mahasiswa memberikan dampak positif. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Kantor (1984) yang menunjukkan bahwa CL dapat mengubah sikap egosentris menjadi kesadaran akan adanya pembaca sehingga mereka lebih memperhatikan strategi untuk perbaikan karya tulisnya.
Dalam hal kemandirian belajar mahasiswa, dosen tetap berperan sebagai fasilitator yang bertanggung jawab untuk memberikan tugas dan mengelola kelas untuk merangsang mahasiswa belajar (Weiner dalam Reid, 1993). Pemantauan dosen ketika mahasiswa melakukan ”kolaborasi” dengan teman sekelompoknya sangat diperlukan.
Bagaimana Langkah Pengembangan Strategi Collaborative Writing dalam Matakuliah MBI
Sebagai upaya perbaikan pembelajaran, langkah pengembangan strategi CW dalam matakuliah MBI ini tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan dalam PTK, yaitu (1) merencanakan perbaikan, (2) melaksanakan tindakan, (3) mengamati, dan (4) melakukan refleksi.
Sebelum merencanakan perbaikan terlebih dahulu dilakukan ”refleksi awal” berupa identifikasi masalah, analisis masalah, dan perumusan masalah. Identifikasi masalah – bagaikan seorang dokter mendiagnosis penyakit pasien – ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri tentang perkuliahan MBI. Setelah masalah teridentifikasi, masalah perlu dianalisis dengan cara melakukan refleksi dan menelaah berbagai dokumen yang terkait. Dari hasil analisis, dipilih dan dirumuskan masalah yang paling mendesak dan mungkin dipecahkan oleh dosen. Masalah kemudian dijabarkan secara operasional agar dapat memandu usaha perbaikan. (Lihat uraian pada butir Konteks di atas)
Setelah masalah dijabarkan, langkah berikutnya adalah mencari atau mengembangkan alternatif perbaikannya, yang dilakukan dengan mengkaji teori, mengkaji hasil penelitian yang relevan, berdiskusi dengan teman sejawat dan pakar, serta menggali pengalaman sendiri. Berdasarkan hasil yang dicapai dalam langkah ini, dikembangkan cara perbaikan atau tindakan yang sesuai dengan kemampuan dan komitmen dosen, kemampuan mahasiswa, sarana dan fasilitas yang tersedia, serta iklim pembelajaran di kelas sasaran. (Lihat uraian pada butir Mengapa Collaborative Writing menjadiPilihan? di atas)
Pelaksanaan tindakan dimulai dengan mempersiapkan rencana perkuliahan dan skenario tindakan, termasuk bahan perkuliahan dan tugas-tugas yang harus dikerjakan, menyiapkan alat pendukung atau sarana lain yang diperlukan, mempersiapkan cara merekam dan menganalisis data, serta melakukan simulasi pelaksanaan jika diperlukan.
- Rencana Perbaikan Perkuliahan (RPP) dibuat dengan menggunakan format yang hampir sama dengan format Lesson Plan atau Satauan Acara Perkuliahan (SAP). Bedanya, dalam RPP terdapat tujuan perbaikan, deskripsi kegiatan lebih rinci, tugas-tugas dan kriteria penilaian dicantumkan secara lengkap. Format RPP dapat disesuaikan dengan gaya selingkung.
- Untuk membuat RPP yang akurat dan dapat diandalkan dalam pelaksanaan, perlu dilakukan langkah-langkah: (1) membuat skenario pembelajaran, (2) menyiapkan sarana dan fasilitas pembelajaran, (3) menyusun RPP secara lengkap, (4) mensimulasikan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan RPP untuk melihat kelayakannya, dan (5) menyempurnakan RPP berdasarkan hasil simulasi.
- Prosedur dan alat pengumpul data ditentukan berdasarkan masalah dan tujuan perbaikan. Jika dosen meminta teman sejawat untuk mengobservasi pelaksanaan perbaikan, lembar observasi harus disepakati terlebih dahulu. Karena data yang dikumpulkan lebih cenderung kepada data kualitatif, maka prosedur dan alat pengumpul data dapat berupa observasi dengan menggunakan lembar observasi, wawancara berdasarkan panduan wawancara, catatan dosen, dan refleksi.
(Lihat bahan perkuliahan ”Bagian 1 Mengapa Anda Menulis?” terlampir, yang dikembangkan dari Topik 1 yang terdapat dalam RPP Matakuliah MBI)
Dalam melaksanakan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi dilakukan secara simultan. Aktor utama adalah dosen, namun dosen dapat dibantu oleh alat perekam data atau teman sejawat sebagai pengamat. Agar pelaksanaan tindakan sesuai dengan kaidah PTK, perlu diterapkan kriteria berikut.
Metodologi penelitian jangan sampai mengganggu komitmen dosen sebagai pengampu matakuliah.
Pengumpulan data jangan sampai menyita waktu dosen terlampau banyak.
Metodologi harus reliabel (handal) hingga dosen dapat menerapkan strategi yang sesuai dengan situasi kelasnya.
Masalah yang ditangani dosen harus sesuai dengan kemampuan dan komitmennya.
Dosen harus memperhatikan berbagai aturan (etika) yang berkaitan dengan tugasnya.
PTK harus dilakukan dalam situasi yang alami sehingga tidak mengganggu program perkuliahan.
Setelah melakukan persiapan akhir, dosen siap untuk melakukan tindakan perbaikan. Pelaksanaan tindakan perbaikan berlangsung di kelas dosen sendiri sesuai dengan RPP yang telah disiapkan. Selama pelaksanaan perbaikan, di samping mengajar, dosen mengumpulkan data, yang dapat dilakukan dengan bantuan teman sejawat atau tanpa bantuan. Oleh karena itu, dosen perlu membuat catatan setiap kesempatan, atau segera mencatat peristiwa penting setelah perkuliahan usai.
Perlu disadari bahwa keberhasilan tindakan perbaikan banyak tergantung dari keyakinan dosen akan langkah-langkah yang telah disiapkan, kesiapan dosen untuk melakukan perbaikan, dan tentu saja komitmen dan kerja keras dosen. Oleh karena itu, kredibelitas dosen dalam pelaksanaan tindakan perbaikan ini sangatlan dipertaruhkan.
Pengumpulan data pelaksanaan tindakan dapat dilakukan dengan berbagai teknik, seperti: observasi, catatan harian, rekaman, angket, wawancara, dan analisis dokumen hasil belajar mahasiswa. Tahap observasi dan interpretasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan perbaikan. Selain untuk menginterpretasikan peristiwa yang muncul sebelum direkam, interpretasi juga membantu dosen melakukan penyesuaian. Observasi yang efektif berlandaskan pada lima prinsip dasar, yaitu: (1) harus ada perencanaan bersama antara dosen dan pengamat, (2) fokus observasi harus ditetapkan bersama, (3) dosen dan pengamat harus membangun kriteria observasi bersama-sama, (4) pengamat harus memiliki keterampilan mengobservasi, dan (5) observasi akan bermanfaat jika balikan diberikan segera dan mengikuti berbagai aturan. Ada empat jenis observasi yang dapat dipilih, yaitu: observasi terbuka, observasi terfokus, observasi terstruktur, dan observasi sistematik. Observasi yang bertujuan memantau proses dan dampak perbaikan dilakukan dengan mengikuti tiga langkah yang merupakan satu siklus yang selalu berulang, yaitu: pertemuan pendahuluan (perencanaan), pelaksanaan observasi, dan diskusi balikan.
Selain melalui observasi, data mengenai pembelajaran dapat dikumpulkan melalui catatan/laporan harian dosen, catatan harian mahasiswa, wawancara (antara dosen dan mahasiswa, pengamat dan mahasiswa, serta pengamat dan dosen), angket, dan telaah berbagai dokumen. Data penelitian pada dasarnya dikumpulkan oleh dosen yang berperan sebagai peneliti dan pengajar, dan jika perlu dapat dibantu oleh teman sejawat. Data tersebut lebih banyak bersifat kualitatif, meski ada juga yang berupa data kuantitatif.
Analisis data adalah upaya yang dilakukan oleh dosen yang berperan sebagai peneliti untuk merangkum secara akurat data yang telah dikumpulkan dalam bentuk yang dapat dipercaya dan benar. Analisis data dilakukan dengan cara memilih, memilah, mengelompokkan, data yang ada, merangkumnya, kemudian menyajikan dalam bentuk yang mudah dibaca atau dipahami. Penyajian hasil analisis data kualitatif dapat dibuat dalam bentuk uraian singkat, bagan alur, atau tabel sesuai dengan hakikat data yang dianalisis. Data kuantitatif dianalisis dengan statistik deskriptif untuk menemukan persentase, dan nilai rata-rata. Penyajian hasil analisis dapat dilakukan dengan membuat tabel distribusi atau grafik.
Berdasarkan hasil analisis, selanjutnya dilakukan interpretasi dan refleksi. Interpretasi data adalah upaya peneliti untuk menemukan makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Interpretasi ini pada gilirannya akan menjadi temuan penelitian. Analisis yang akurat dan cara penyajian yang tepat akan memungkinkan tafsiran/interpretasi hasil penelitian yang akurat dan valid itu. Oleh karena itu, dosen harus sangat berhati-hati dalam melakukan analisis. Kekurang-akuratan dapat diminimalkan dengan melakukan "cross check" dengan sumber data atau dengan data lain yang sejenis.
Refleksi dilakukan setelah data pembelajaran diolah, atau setelah dosen mempunyai gambaran tentang keberhasilan/kegagalan atau kekuatan/kelemahan tindakan perbaikan yang dilakukan. Kekuatan ingatan dan kejujuran dalam melakukan refleksi akan sangat membantu dosen menemukan kekuatan dan kelemahan tindakan perbaikan yang telah dilakukan sehingga dapat dihasilkan masukan yang bermakna bagi perencanaan daur berikutnya. Berdasarkan hasil refleksi, dosen melakukan perencanaan tindak lanjut, yang dapat berupa revisi dari rencana lama, yang berfokus pada bagian-bagian yang dinilai masih mempunyai kekurangan atau kelemahan.
Penutup
Pengembangan strategi CW dalam perkuliahan MBI sudah diterapkan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Jurusan Sastra Indonesia Fakulktas Sastra Universitas Negeri Malang sejak Semester Gasal 2007/2008. Sampai saat ini masih dalam taraf perbaikan mulai dari perbaikan bahan pekuliahan, panduan kegiatan penulisan, panduan kolaborator, sampai dengan kriteria penilaian akhir.
Pada tahun kedua ini (Semester Gasal 2008/2009) penerapan strategi CW dalam perkuliahan MBI telah menunjukkan hasil yang signifikan. Dari 22 mahasiswa yang aktif mengikuti perkuliahan, 10 mahasiswa mendapatkan nilai A, 8 mahasiswa mendapatkan nilai A-, 1 mahasiswa mendapat nilai B+, 3 mahasiswa mendapatkan nilai K (karena yang bersangkutan tidak/belum dapat menyelesaikan tugas final sampai dengan batas toleransi yang diberikan).
Pada dua tahun terakhir ini diharapkan sudah menghasilkan perangkat perkuliahan MBI dengan menggunakan strategi CW yang sudah mantap. Oleh karena itu, saran dan ide-ide inovatif dari para peserta seminar ini sangat dinantikan demi penyempurnaan program pengembangan strategi CW ini.
Pustaka Acuan
Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Andira: Bandung.
Alwasilah, A. Chaedar. 2005. Pokoknya Menulis: Cara Baru Menulis dengan Metode Kolaborasi. Kiblat: Bandung.
Barnum, Carol M. 1994. “Collaborative Writing in Graduate Technical Communication: Is There a Difference?” Journal of Technical Writing and Communication 24(4):405-419.
Blanton, L.L. 1992. Reading, Writing, and Authority: Issues in Developmental ESL. College ESL, 2(1), 11-19
Brown, Douglas, H. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Bruffee, Kenneth A. 1999. Collaborative Learning: Higher Education, Interdependence, and the Authority of Knowledge. 2nd edition. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Cooper, James L. and Randall Mueck. 1989. “Cooperative/Collaborative Learning: Research and Practice (Primarily) at the collegiate Level.” The Journal of Staff, Program & Organization Development. 7(3):143-148.
Cooper, Melanie. 1995. “Cooperative Learning: An Approach for Large Enrollment Courses.” Journal of Chemical Education 72(2):162-164.
Dunn, Dana S.. 1996. “Collaborative Writing in a Statistics and Research Methods Course.” Teaching of Psychology, Vol. 23, 1996
Gokhale, Anurdha, A. 1995. Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. An Online Article. Available at http://skepdic.com
Graves, Donald H. 1983. Writing: Teachers and Children at Work. New Hampshire: Heinemann
Haley, Darryl E. 1999. Collaborative Writing: Some Late 20th Century Trends. East Tennessee State University
Kantor, Kenneth J. 1984. Classroom Contexts and the Development of Writing Institution: An Ethnographyc Case Study. New York: Guilford.
Louth, Richard, Carole McAllister, and Hunter A. McAllister. 1993. “The Effects of Collaborative Writing Techniques on Freshman Writing and Attitudes.” Journal of Experimental Education 61(3):215-224.
Nelson, S. 2000. “Teaching collaborative writing and peer review techniques to engineering and technology undergraduates.” Frontiers in Education Conference, Volume 2, Issue , 2000 Page(s):S2B/1 - S2B/5 vol.2
Nunan, David. 2003. Practical English Language Teaching. New York: Mc Graw-Hill.
Nunan, David. 2004. Practical English Language Teaching. The MacGraw Hill Companies: Singapore
Reid, Joy.M. 1993. Teaching ESL Writing. New Jersey: Prentice Hall Regents
Scheffler, Judith. 1992. “Using Collaborative Writing Groups to Teach Analysis of an RFP (My Favorite Assignment).” The Bulletin of the Association for Business Communication 55(2):26-28.
Skerrit, Zuber. 1996. New Directions in Action Research. London: The Falmer Press
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. Boston: Allyn and Bacon.
Stanier, Linda. 1997. “Peer Assessment and Group Work as Vehicles for Student Empowerment: A Module Evaluation.” Journal of Geography in Higher Education 21(1):95-98.
Wright, W. Alan, Eileen M. Herteis, and Brad Abernethy. 2001. Learning Through Writing: A Compendium of Assignments and Techniques, Revised edition. Halifax, Canada: Office of Instructional Development and Technology, Dalhousie University.
Lampiran Bahan Perkuliahan Bagan 1
Bagian 1
Mengapa Anda Menulis?
Sebagai bagian dari komunitas akademik, Anda tidak mungkin lepas dari kegiatan tulis-menulis, mulai dari yang berbentuk makalah, laporan hasil kuliah kerja lapangan, laporan hasil penelitian, sampai dengan karya tulis ilmiah lainnya (skripsi, tesis, disertasi). Serangkaian kegiatan yang telah mentradisi di lingkungan komunitas akademik ini pada dasarnya adalah forum atau sarana penyampaian informasi baru, gagasan, kajian, atau temuan hasil penelitian yang berkaitan dengan bidang-bidang keilmuan yang Anda geluti. Lewat forum inilah Anda diharapkan bisa lebih memahami, mendalami, dan mengembangkan disiplin ilmu masing-masing. Oleh karena itu, akan naif rasanya apabila ada sebagian komunitas akademik – termasuk Anda? – dengan sengaja menghindari kegiatan-kegiatan tulis-menulis tersebut.
Sejak Anda duduk di bangku SD, SMP, dan SMA telah mendapatkan pelajaran menulis. Dengan demikian, mestinya teori menulis sudah Anda ketahuai bahkan Anda pahami dengan baik. Tetapi, mengapa sampai saat ini sebagian besar di antara Anda masih saja merasakan kegiatan menulis sebagai beban? Bagaimana “status” pengetahuan dan pemahaman Anda tentang teori menulis?
Kondisi yang menimpa pada diri Anda tersebut tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Anda. Banyak faktor penyebabnya. Penerapan pembelajaran menulis yang selama ini menonjolkan banyak teori dan mengesampingkan praktik, akan membuahkan “rasa takut” menulis. Sebagian besar guru yang mengajarkan menulis pun tidak mampu menunjukkan “model” sebagai sosok penulis yang dapat ditiru atau dicontoh oleh siswanya. Akibatnya bisa ditebak bahwa siswa kehilangan panutan. Mereka hanya “tahu tentang menulis tetapi tidak bisa menerapkannya.”
Sebagai sebuah keterampilan, kemampuan menulis tak ubahnya dengan kemampuan bersepeda. Walaupun Anda mempunyai pengetahuan tentang cara mengayunkan pedal sepeda, cara memegang setir, dan cara duduk di sadel, apabila tidak pernah berlatih yang terus-menerus, Anda sampai kapan pun tidak akan pernah mampu bersepeda. Ketika awal berlatih bersepeda, Anda jatuh, menabrak pagar, bahkan masuk selokan, merupakan hal biasa bagi pemula. Yang penting, hasil akhirnya Anda dapat bersepeda dengan lancar. Kemampuan menulis pun demikian. Ketika awal berlatih menulis, Anda akan mengalami kegagalan dalam menyusun kalimat, memilih dan membentuk kata, menyusun paragraf, menulis ejaan dan tanda baca. Hal itu sudah biasa. Yang penting, dengan belajar dari kegagalan itu, Anda dapat memperbaikinya setahap demi setahap yang akhirnya membuahkan karya tulis yang baik.
Menyadari kelemahan pembelajaran menulis yang selama ini masih menonjolkan teori, pembelajaran menulis kali ini diarahkan sebaliknya. Anda akan diajak langsung menulis yang dibarengi dengan pengamatan dan pemahaman kiritis terhadap model-model tulisan yang sering Anda jumpai. Kegiatan yang dikemas dengan srategi collaborative writing ini, akan menggiring Anda untuk terampilan menulis secara maksimal. Insyaallah!
PASTIKAN ANDA MAMPU MENULIS.
YAKINLAH, DENGAN KEMAMPUAN MENULIS, PELUANG ANDA MERAIH CITA-CITA LEBIH TERBUKA.
Kegiatan 1
Berbagilah ke dalam kelompok terdiri atas 4 – 5 orang. Upayakan setiap kelompok berjarak yang cukup agar ketika berdiskusi kelompok, Anda tidak terganggu oleh “suara” kelompok lain.
Diskusikan permasalahan di bawah ini selama 15 menit. Setelah itu, laporkan hasilnya di depan kelas.
1. Refleksikan pengalaman Anda. Ketika Anda mendapatkan pelajaran menulis di SD, SMP, dan SMA (atau yang sederajat), pengetahuan apa yang selalu Anda praktikkan ketika menulis?
2. Kesulitan dan keraguan apa yang Anda rasakan ketika Anda menulis? Bagaimana Anda menanggulagi kesulitan dan keraguan itu?
3. Apakah cara atau strategi yang dilakukan guru Anda ketika memberikan pelajaran menulis? Apakah cara itu Anda senangi atau tidak Anda senangi? Mengapa Anda merasakan demikian?
4. Kompetensi apa yang Anda inginkan dalam pelajaran menulis? Mengapa Anda menginginkan demikian?
5. Ketika Anda memasuki jenjang perguruan tinggi, Anda masih mendapatkan matakuliah Menuis Buku Ilmiah. Apakah Anda masih menganggap perlu menempuhnya? Jika perlu, apa yang Anda inginkan dalam matakuliah tersebut? Mengapa Anda menginginkan demikian?
KOMENTAR DAN TANGGAPAN POSITIF ANDA INI MERUPAKAN BUKTI BAHWA ANDA MEMPUNYAI KESADARAN AKAN PENTINGNYA MATAKULIAH MENULIS BUKU AJAR.
DENGAN KESADARAN TERSEBUT DIHARAPKAN ANDA MEMPUNYAI KEPEDULIAN YANG TINGGI TERHADAP SEMUA KEGIATAN YANG DAPAT MEMUPUK KETERAMPILAN MENULIS BUKU ILMIAH.
Kegiatan 2
Sebagai pancingan, carilah satu buku ilmiah yang paling Anda kesani, terutama buku yang terkait dengan bidang studi yang sedang Anda dalami!
1. Bacalah dengan cepat buku yang telah Anda pilih tersebut untuk mendapatkan ide secara keseluruhan!
2. Bacalah sekali lagi untuk memperoleh detail isinya!
3. Tandailah bagian-bagian yang menjadi perhatian Anda, dengan cara melingkari, menggarisbawahi, menandai, atau mengomentarinya. Perhatian Anda bisa karena tertarik, ragu, penasaran, maupun terkejut atas isi, bahasa, pemikiran yang terdapat di dalamnya.
4. Tulislah komentar Anda secara bebas tentang buku yang telah Anda cermati tersebut! Komentar Anda dapat berupa kelebihan dan kekurangan apa saja ang terdapat buku, atau hal-hal lain yang terlintas di pikiran Anda.
5. Sampaikan komentar Anda di depan kelompok untuk mendapatkan tanggapan balik dari anggota kelompok! Lakukan secara bergantian!
RANGKAIAN KEGIATAN TERSEBUT MERUPAKAN STRATEGI MEMBACA KRITIS.
STRATEGI MEMBACA DEMIKIAN MESTINYA HARUS ANDA BIASAKAN SETIAP ANDA MEMBACA BUKU ILMIAH SEBAGAI BAGIAN DARI STRATEGI BELAJAR.
KALAU KEBIASAAN INI ANDA LAKUKAN, ANDA AKAN SEBAGAI SOSOK ILMUWAN YANG KRITIS.
Kegiatan 3
Pada kegiatan ini Anda “dipaksa” untuk dapat menulis. Sebab, pada dasarnya Anda mempunya kompetensi menulis, yang berpotensi sama dengan penulis-penulis professional lainnya. Anda harus dapat membuktikannya!
1. Nah, sekarang tulislah sebuah esai bebas berupa respons atas buku yang sudah Anda baca di atas! Esai Anda dapat fokuskan pada isi buku, teori yang digunakan atau yang dirujuk, bahasa yang digunakan, cara penyajian, atau hal apa saja yang terlntas pada pikiran Anda atas buku tersebut.
2. Esai Anda harus Anda tulis dengan media komputer, berjarak dua spasi, huruf Arial, 12 poin, minimal 500 kata, dengan ukuran kertas A4.
3. Ketika menulis esai, Anda harus memperhatikan tatacara penulisan yang benar, mulai dari pemilihan dan pembentukan kata, penyusunan kalimat, pengembangan paragraf, sampai dengan pemakaian ejaan dan tanda baca.
4. Berillah judul yang menarik, singkat, menantang, dan provokaif! Jangan menggunakan judul yang telah dipakai oleh orang lain! Anda harus kreatif.
5. Di bawah judul cantumkan nama Anda!
6. Di sudut kiri atas halaman pertama cantumkan:
Tanggal:
Draf : 1, 2, dst.
Revisi : 1, 2, dst.
7. Di akhir karangan cantumkan:
Kolaborator 1: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 2: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 3: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
Kolaborator 4: __________ Tanggal: ________ Tanda tangan: _______
8. Serahkan hasil esai Anda pada pertemuan yang akan datang.
ANDA TERNYATA MEMPUNYAI KOMPETENSI MENULIS. BAGAIMANA PERASAAN ANDA KETIKA MENULIS ESAI? APAKAH ADA KERAGUAN? DALAM HAL APA ANDA RAGU MENULIS?
SAMPAIKAN DI DEPAN KELAS UNTUK MENDAPATKAN RESPONS DARI TEMAN.
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN KOSAKATA BERBASIS AUDIO-VISUAL UNTUK PENINHGKATAN KOMPETENSI BERBAHASA INDNESIA ANAK USIA DINI
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN KOSAKATA
BERBASIS AUDIO-VISUAL UNTUK PENINGKATAN KOMPETENSI
BERBAHASA INDONESIA ANAK USIA DINI
Masnur Muslich dan Suyono
Abstrak: Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang (1) kosakata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari, (2) kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK, (3) media pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru TK dalam rangka pencapaian kompetensi berkomunikasi berbahasa Indonesia bagi siswanya, dan (4) penyusunan model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa indonesia anak usia dini. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain pengembangan dengan ujicoba di sepuluh TK sasaran, dihasilkan deskripsi kosakata dasar yang dipakai oleh anak usia dini, kondisi pembelajaran kosakata dasar, media pembelajaran kosakata yang digunakan di TK, dan prototipe media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual dalam rangka peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini. Prototipe media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual hasil penelitian ini selain dapat dimanfaatkan setiap guru pada lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) juga dapat dipakai sebagai dasar pengembangan media pembelajaran lebih lanjut.
Kata kunci: media pembelajaran kosa kata, kompetensi berbahasa anak usia dini.
Ada tiga hal pokok yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian pegembangan ini. Pertama, penelitian Muslich tentang ”Kondisi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang” (tahun 2000) diperoleh temuan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia yang selama ini diterapkan oleh guru-guru TK Kota Malang (alih-alih disebut Pendidikan Anak Usia dini atau PAUD) kurang manarik sehingga tidak bisa membangkitkan motivasi anak untuk belajar secara aktif dan kreatif. Di samping itu, strategi pembelajaran kurang ada variasi sehingga mudah menimbulkan rasa bosan pada diri anak. Akibat lanjutnya adalah anak kurang tertarik pada pembelajaran bahasa Indonesia. Kedua, penelitian Muslich tentang ”Efektivitas Penggunaan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang” (tahun 2002) diperoleh temuan bahwa media pembelajaran yang selama ini digunakan dalam pembelajaan bahasa Indonesia pada siswa TK/PAUD Kota Malang kurang memperhatian ciri-ciri PAKEM. Hal ini dibuktikan dengan pemilihan media yang kurang sesuai dengan perkembangan psikis dan kesenangan anak. Di samping itu, penggunaan media pembelajaran hanya sekedar dipraktikkan di depan kelas tanpa menyesuaikannya dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran yang diamanatkan oleh Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini.
Ketiga, ketika peneliti bertugas selama satu semester (Juli – Desember 2006) di Thailand Selatan, sempat mengamati pelaksanaan pembelajaran bahasa Thai pada anak usia dini yang kondisinya berkebalikan dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia pada usia yang sama di Indonesia. Di Kindergarten atau TK/PAUD di bawah naungan Prince of Songkhla University, Pattani Campus ini, pembelajaran bahasa berlangsung secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Lewat media audio-visual yang ditayangkan di kelas, anak-anak bisa dengan cepat memahami dan mempraktikkan kosakata yang menjadi fokus pembelajaran dalam berkomunikasi. Kondisi pembelajaran bahasa lewat media audio-visual di Thailand Selatan ini apabila dikembangkan di Indonesia tentu akan dapat meningkatkan kompetensi berbahasa anak usia dini.
Pada sisi lain, kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa di setiap satuan pendidikan adalah agar para siswa terampil berbahasa, baik reseptif lisan (menyimak), produktif lisan (berbicara), reseptif tulis (membaca), maupun produktif tulis (menulis). Dalam praktiknya, keterampilan berbahasa memerlukan penguasaan kosakata yang memadai sehingga gagasan yang ingin disampaikan dapat tersalurkan dengan baik. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan kosakata yang memadai akan dapat menentukan kualitas berbahasa seseorang. Untuk mencapai tujuan itu, pembelajaran kosakata harus dilakukan sejak usia dini, yang secara formal dimulai sejak di anak berada di TK/PAUD (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993 dan Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Pada tahap itu, pembelajaran kosakata harus dilakukan secara efektif, yaitu pembelajaran kosakata secara kontekstual, pembelajaran yang sesuai dengan tujuan komunikasi, pembelajaran yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari, dan dilaksanakan secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (National Institute Leteracy, 2006).
TEORI PEMBELAJARAN KOSAKATA
Pembelajaran kosakata yang bertujuan untuk meningkatakan kompetensi berbahasa siswa dapat dilakukan sebagai berbagai metode, di antaranya melalui belajar melalui cerita, belajar melalui bermain, belajar melalui bernyanyi, dan belajar melalui bercakap-cakap. Pertama, belajar melalui cerita. Cerita mendorong anak untuk belajar mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa, mengidentifikasi kata-kata, dan menarik makna dari konteks. Dialog dalam cerita mendorong anak belajar pragmatika berbahasa tentang bagaimana memulai pembicaraan, memilih sapaan, salam, dan pola pergiliran bicara (Musfiroh, 2003).
Para ahli seperti Dyson, Morrow, Owocki dan Schic-kendaz mengatakan bahwa kegiatan berbicara dan mendengarkan dalam bercerita (sebagaimana bermain dan menggambar) merupakan sarana dan media pengembangan dan penggunaan pengetahuan tentang bahasa tulis dan bahasa lisan (Bredekamp, 1992)
Cerita yang dikemas dalam wujud buku bergambar juga dapat membantu memperbaiki kesalahan identifikasi lambang tertulis (huruf). Pada saat mencocokkan cerita dengan lambang atau tulisan, anak terbantu oleh bentuk kata (baca: lafal kata) yang telah dikuasainya. Huruf e pada tempe dan bebek, misalnya, masing dibaca [bєbє?] dan [tempe]. Setelah menyi-mak pembacaan cerita bergambar oleh guru, anak akan tergelitik untuk mencocokkan lambang tulis dengan pelafalan (Bandingkan dengan Sudono, 2000 dan Hainstock, 2002).
Membicarakan isi cerita dengan anak, menurut kajian para ahli, membentuk scaffolding yang membuat anak memberikan perhatian dan memberikan konteks yang berdaya bagi anak untuk belajar bahasa dan menumbuhkan literasi mereka (Brewer, 1995). Stimulasi perkembangan struktur kalimat melalui cerita tidak akan mencapai efek maksimal jika guru tidak melatih anak untuk bercerita ulang (retelling). Melalui retelling dapat diketahui apakah anak dapat menangkap isi cerita dan dapat mengungkapkan kembali dengan kata dan struktur yang mendekati model (baca: guru).
Dialog dalam cerita dapat menjadi model bagi anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal. Fitur (ciri) struktur kalimat bahasa Indonesia dapat diidentifikasi anak melalui contoh dialog cerita. Selain itu, anak juga memperoleh keluasan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik (Bandingkan dengan Dawud, 1997 dan Winihasih, 1997).
Kedua, belajar melalui bermain. Bermain, apa pun bentuknya, mendorong minat anak untuk bereksplorasi lebih jauh. Lebih-lebih kegiatan bermain peran. Hasil studi para ahli tentang dramatisasi cerita menunjukkan cerita didramatisasikan anak merupakan media utama untuk mengeksprsikan perkembangan kapasitas keberaksaraan anak atau literacy capacities (Bredekamp, 1992).
Permainan yang disajikan dalam penelitian ini meliputi permainan kartu bergambar, permainan teka-teki, melanjutkan cerita, dan menata kata. Permainan-permainan tersebut dimodifikasi dari permainan-permainan untuk mengembangkan kecerdasan linguistik yang diciptakan Musfiroh (2003). Permainan tersebut disajikan dalam bentuk dan perintah bahasa.
Ketiga, belajar melalui bernyanyi. Menyanyi merupakan salah satu metode “pengenalan” kosakata pada anak yang sangat efektif. Menyanyi menjadikan kata-kata lebih bermakna bahkan hingga anak-anak itu beranjak remaja. Oleh karena itu, guru perlu mengenal berbagai lagu. Jika perlu, guru dapat mengarang sendiri nyanyian sebagai pengembang kompetensi kosakata termasuk pelafalan dari kata-kata tersebut (Cox, 1999).
Kehadiran ritmik, pengulangan, dan pola rima di dalam nyanyian merupakan bentuk “pengajaran” bahasa tertua yang berisi budaya untuk konsumsi anak. “Pengajaran” melalui lagu mudah dicerna dan diingat, terutama karena “pelajaran” itu dapat dilakukan berulang-ulang baik melalui radio, televisi, maupun pengulangan sendiri oleh anak dan orang-orang di sekitarnya (Steinberg, 2001).
Pembelajaran melalui nyanyian sangat menyenangkan dan membuat anak senang mengulang-ulangnya. Anak-anak, secara bawah sadar, telah menyerap informasi yang terkandung dalam nyanyian sehingga memudahkan mereka mengingat kata-kata tertentu, seperti, nyanyian yang berisi angka (satu, dua, tiga, dan sebagainya).
Keempat, belajar melalui bercakap-cakap. Bercakap-cakap merupakan metode pembelajaran bahasa yang sangat efektif untuk mengembangkan kecakapan berbicara (termasuk kecakapan pragmatik) sekaligus dapat dipergunakan untuk mengukur seberapa tingkat penguasaan anak terhadap bahasa target. Sayangnya, apabila tidak dilakukan secara hati-hati, metode ini akan membuat anak diam seribu bahasa.
Selain itu, metode bercakap-cakap dapat dimanfaatkan anak sebagai model berbicara. Misalnya, penelitian Musfiroh (2003) mengenai tuturan bilingual anak TK di DIY menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kesulitan membedakan fitur bahasa Jawa dan Indonesia karena guru mereka memberi pajanan bahasa yang tidak konsisten.
Sebenarnya, metode bercakap-cakap sangat efektif untuk membiasakan anak bersikap sopan, seperti dalam mengucapkan salam, mengajukan permohonan, meminta tolong, dan mengucapkan terima kasih. Oleh karena itu, pembiasaan berbicara dalam bahasa Indonesia sangat penting untuk diterapkan. Hanya saja, kritik dan pembetulan tidak disarankan untuk diberikan (Cox, 1999).
Berdasarkan temuan penelitian Muslich yang ditunjang oleh hasil pengamatan pembelajaran bahasa di Kingergarten Thailand Selatan tersebut dan pentingnya penguasaan kosakata dalam keterampilan berbahasa, penelitian ini memfokuskan pada pengembangan media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang secara potensial diharapkan dapat meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini. Adapun masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: (a) Apa saja jenis kosakata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari? (b) Bagaimana kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD? (c) Bagaimana kesiapan daya dukung media atau alat pembelajaran kosakata apa yang selama ini digunakan oleh guru PAUD dalam rangka pencapaian kompetensi berkomunikasi berbahasa Indonesia bagi anak usia dini? (d) Bagaimana prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa indonesia anak usia dini?
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan (1), (2), dan (3), digunakan desain penelitian kualitatif, dengan pertimbangan bahwa (a) penelitian ini memiliki data langsung yang bersifat alami, yaitu kata-kata yang selama ini dipakai oleh anak usia dini dalam kegiatan sehari-hari, pembelajaran kosakata yang selama ini diterapkan guru, dan media pembelajaran yang dipakai/digunakan guru, (b) instrumen pokok penelitian ini adalah peneliti sendiri, (c) data penelitian ini bersifat deskriptif, (d) lebih mengutamakan proses daripada hasil, (e) analisis data dilakukan secara induktif, dan (f) makna (meaning) merupakan perhatian utama. Penelitian yang memiliki ciri semacam itu oleh Bogdan dan Biklen (1982) dinamakan penelitian kualitatif.
Sasaran representatif subjek penelitian ditentukan berdasar stratifikasi area. Karena Kota Malang terdiri atas lima kecamatan, yaitu kecamatan Klojen, Lowokwaru, Kedungkandang, Blimbing, dan Sukun, masing-masingnya diambil dua sekolah secara purposif. Dengan demikian, ada sepuluh TK yang siswa dan gurunya menjadi sampel penelitian ini.
Data penelitan ini ada tiga jenis, yaitu berupa (1) kata-kata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang biasa siswa dalam komunikasi sehari-hari, (2) kinerja guru dalam pembelajaran kosakata, dan (3) media pembelajaran yang dipakai/digunakan guru dalam pembelajaran kosakata, Data dikumpulkan dengan cara (1) pengamatan langsung ke subjek penelitian (baik siswa maupun guru TK), (2) penyebarkan angket ke setiap subjek penelitian, dan (3) pendokumentasian. Cara pertama dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang kosakata dasar (basic vocabulary) yang dipakai oleh anak usia dini dalam berkomunikasi sehari-hari dan kinerja guru TK dalam pembelajaran kosaka. Cara kedua dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang pendapat dan wawasam guru TK terkait dengan pembelajaran kosakata, khusunya tentang pemakaian media pembelajarannya. Cara ketiga dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang persiapan guru tentang pembelajaran kosakata dan media pembelajaran yang digunakan/ dikembangkannya. Data yang diperoleh dari ketiga cara tersebut disajikan dalam tabel pengumpul data yang sudah disiapkan.
Untuk mencapai tujuan (4), yaitu memperoleh prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini digunakan desain penelitian pengembangan dengan tahapan dan prosedur kerja sebagai berikut. Pertama, pengkajian teori terkait dengan (a) pembelajaran bahasa, (b) pembelajaran dan pemerolehan kosakata, (c) perkembangan anak, (d) model-model permainan anak, dan (e) pembuatan media pembelajaran. Kedua, telaah kurikulum pendidikan anak usia dini (PAUD) dan pemetaan kosakata dasar bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari. Hasil telaah kedua kegiatan ini dipakai sebagai dasar untuk menentukan kosakata apa perlu dikembangkan dalam pengembangan model media pembelajaran. Ketiga, pengembangan prototipe model media pembelajaran. Ada tiga kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, yaitu pembuatan CD (baik pembuatan animasi, perekaman adegan, maupun pembuatan gambar), penyusunan buku siswa, dan penyusunan panduan guru. Apabila prosedur kerja tersebut divisualisasikan dalam bentuk bagan, terlihat pada bagan alir berikut.
Bagan Alir Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kosakata Dasar (Basic Vocabulary) Bahasa Indonesia yang Dipakai oleh Anak Usia Dini
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa kosakata dasar bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari dapat diklasifikasikan sebagaimana tabel berikut.
Tabel 1: Klasifikasi Kosakata Dasar Bahasa Indonesia yang Dipakai oleh Anak Usia Dini dalam Kehidupan Sehari-hari
No. Klasifikasi Kata yang Ditemukan
1. Kekerabatan ibu, ayah, anak, adik, saudara, kakak, kakek, nenek, paman (om), bibi (tante), papa, mama
2. Kata ganti aku (saya), kamu, dia, mbak, mas, ini, itu, (di) sini, (di) sana, (di) situ, (di) depan, (di) belakang, di (samping), (di) atas, (di) bawah, (di) luar, (di) dalam, di (kanan).
3. Kata Kerja berdiri, duduk, makan, minum, tidur, bangun, berlari, melihat, mendengar, mencium, membaca, menulis, menyanyi, bergurau, bercerita, belajar, bekerja, memotong, pipis (buang air kecil), mendorong, berjalan, menghadap, bermain, berperang, menembak, shalat, ngomong.
4. Kata Keadaan lapar, kenyang, haus, senang, susah, sakit, sehat, bersih, kotor, jauh, dekat, besar, kecil, panjang, pendek, tinggi, rendah, jauh, dekat, siang, malam, gelap, terang, kering.
5. Kata Benda air, api, bulan, bintang, matahari, hewan, tumbuhan, rumah, sekolah, kursi, meja, bangku, gelas, dot (botol susu), mobil-mobilan, buku, penghapus, tas, pensil, rautan pensil, meja, majalah, papan tulis, telur, susu, mie, sayur, susu, gelas.
6. Rasa pahit, manis, asin, pedas,
7. Anggota Tubuh kepala, tangan, kaki, mata, hidung, telinga, mulut, rambut, kumis.
8. Pakaian baju, celana, topi, kerudung, sarung, sandal, sepatu, kaos kaki, dasi, kalung, gelang, cincin, mukena, sajadah
9. Bagian Rumah tembok, pintu, jendela, pagar, kamar, dapur,
10. Warna biru, hijau, kuning, jingga (orange), merah, pink (merah muda), ungu, hitam, cokelat, putih.
11. Bentuk kotak, bulat, garis, segitiga
12. Waktu Siang, pagi, sore, malam, kemarin, besok
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa ada beragam jenis klasifikasi kosakata dasar yang dipakai anak PAUD. Klasifikasi-klasifikasi tersebut antara lain kata kekerabatan, kata ganti, kata kerja, kata keadaan, kata benda, rasa, anggota tubuh, pakaian, bagian rumah, warna, bentuk, dan waktu. Hal ini mengindikaskan bahwa materi pembelajaan kosakata harus bersumber pada kata-kata seputar klasifikasi tersebut. Dengan cara demikian, selain sesuai dengan perkembangan anak, juga akan sesuai dengan kebutuhan anak.
b. Kondisi Pembelajaran Kosakata yang Diterapkan oleh Guru PAUD
Kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD ini dibahas dalam dua hal, yaitu (1) kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dan (2) wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Penjabaran kedua hal tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kinerja Guru PAUD dalam Pembelajaran Kosakata
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK dapat dijelaskan sebagaimana berikut. Kondisi kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dapat diketahui dari dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Persiapan pembelajaran meliputi kinerja guru membuat RPP, kesiapan alat peraga pembelajaran, dan ketersediaan media pembelejaran. Sedangkan pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Kedua tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, tahap persiapan pembelajaran. Persiapan yang dilakukan guru PAUD dalam pembelajaran kosakata meliputi membuat RPP, mempersiapkan alat peraga pembelajaran, dan menyediakan media pembelajaran.
Membuat RPP. RPP dikenal dengan SKH (Satuan Kegiatan Harian). SKH berisi serangkaian kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir yang disertai dengan identitas kompetensi yang akan dicapai, tahapan pembelajaran, metode, media pembelajaran, dan penilaian. SKH tersusun secara teratur dan terencana. SKH disusun dengan tujuan agar pembelajaran dapat terarah dan berhasil sesuai dengan tujuan. SKH disusun setiap kali pertemuan.
Kesiapan Alat Peraga Pembelajaran. Alat peraga pembelajaran dipersiapkan untuk mendukung pembelajaran. Alat peraga pembelajaran yang dipersiapkan disesuaikan dengan kompetensi/materi yang akan diajarkan. Misalnya, untuk tema kesehatan, dipilih alat peraga berupa gambar menu makanan empat sehat dan lima sempurna.
Ketersediaan Media Pembelajaran. Lebih lanjut, juga terdapat kesesuaian antara media pembelajaran dengan kompetensi/materi yang diajarkan. Media pembelajaran yang disediakan disesuaikan dengan kompetensi/materi yang diajarkan.
Kedua, tahap pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Apersepsi. Secara umum, kegiatan apersepsi meliputi salam, berdoa, bernyanyi, menanyakan kehadiran siswa, dan tanya jawab dengan tujuan untuk mengaitkan kompetensi yang akan dicapai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Apersepsi yang berupa salam secara tidak langsung telah mengajarkan kosakata dalam klasifikasi waktu. Misalnya, dengan salam “Selamat Pagi” anak telah dikenalkan waktu pagi. Bernyanyi bertujuan untuk membangkitkan semangat siswa. Hal ini didasari oleh suatu alasan bahwa bernyanyi merupakan salah satu hal yang dapat membuat anak senang dan tertarik dengan belajar. Selain itu, dengan bernyanyi anak secara tidak langsung telah mengenal kosakata yang tersusun dalam nyanyian tersebut. Menanyakan kehadiran siswa bertujuan untuk menumbuhkan rasa toleransi antarsiswa. Lebih lanjut, apersepsi juga dilakukan melalui tanya jawab. Tujuan tanya jawab ini adalah untuk mengaitkan antara kompetensi yang akan dicapai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Selain itu, bertujuan untuk menggali pengathuan anak.
Keterlibatan Siswa. Pembelajaran membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Wujud keaktifan tersebut meliputi siswa memiliki rasa keingintahuan yang tinggi sehingga muncul beragam pertanyaan dari siswa, menirukan model yang dicontohkan guru, dan senang mengerjakan perintah guru. Untuk memicu dan menghilangkan kejenuhan, guru menyelinginya dengan nyanyian yang diiringi dengan tepukan.
Metode/Teknik Pembelajaran. Metode/teknik pembelajaran yang digunakan guru meliputi ceramah, tanya jawab, demonstrasi, pemodelan, belajar kelompok, penugasan, dan anekdot. Pada dasarnya, metode ceramah tetap dilakukan guru. Hal ini disebabkan anak PAUD merupakan usia yang butuh perhatian. Ketelatenan guru PAUD merupakan hal penting yang bertujuan untuk mengarahkan dan menertibkan siswa. Seringkali, anak usia PAUD masih belum bisa terfokus pada pembelajaran. Anak tersebut masih memerlukan pengaturan dan pengarahan. Untuk itu, metode ceramah senantiasa ada dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru juga sering memicu komunikasi siswa dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa. Hal ini bertujuan untuk menggali pengetahuan siswa berkaitan dengan kompetensi yang akan dicapai. Model dalam pembelajaran sangat penting. Dengan adanya model, diharapkan siswa dapat melakukan apa yang diperintahkan guru. Selain itu, dengan ditunjukkan adanya model secara langsung diharapkan kompetensi siswa tergali karena anak PAUD belum dapat berpikir secara abstrak. Ia akan mengetahui benar jika hal tersebut dialaminya. Guru juga mendemonstrasikan suatu media pembelajaran. Misalnya, guru menunjukkan adanya gambar rumah beserta bagian-bagiannya. Hal ini diharapkan akan ada respons bagi anak dengan menyebutkan bagian-bagian tersebut.
Penerapan Alat/Media Pembelajaran. Alat/media pembelajaran diterapkan dengan tujuan untuk mendukung proses pembelajaran. Secara umum, penerapan media pembelajaran mencapai tujuan pembelajaran.
Ketercapaian Pembelajaran. Teknik/metode dan alat peraga ditujukan untuk mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara umum, pembelajaran mencapai tujuan yang diharapkan. ...
Evaluasi Pembelajaran. Di akhir pembelajaran, guru mengadakan evaluasi. Wujud evaluasi itu antara lain menanyakan kembali kegiatan yang telah dilakukan, memberikan pesan-pesan yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, memberikan tugas rumah kepada siswa, dan menutup pembelajaran dengan bernyanyi, doa, dan salam.
2) Wawasan dan Pendapat Guru PAUD dalam Pembelajaran Kosakata
Data tentang wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata diperoleh melalui teknik wawancara dengan memberikan instrumen pemandu berupa angket. Angket tersebut berisi sejumlah pertanyaan yang dirancang khusus untuk mengetahui wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Peneliti memberikan pengarahan dalam pengisian angket yang dilakukan oleh guru. Hal ini bertujuan agar jawaban-jawaban yang diberikan guru sesuai dengan kepentingan penelitian.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK dapat dijelaskan sebagai berikut. Semua guru PAUD di TK sasaran berpendapat bahwa pembelajaran kosakata sangat penting. Hal ini disebabkan karena perbendaharaan kata bagi anak diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan teman dan keluarganya serta untuk menyatakan/mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Semakin banyak anak mengenal kosakata, maka memudahkan anak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi. Kosakata merupakan konsep awal berbahasa yang sederhana. Kosakata adalah modal dasar berbahasa.
Guru PAUD mengajarkan kosakata pada anak. Guru-guru mengajarkan kosakata bukan semata-mata karena tuntutan kurikulum. Tetapi, pengajarannya lebih didorong oleh alasan bahwa kosakata merupakan konsep awal pembelajaran berbahasa yang sederhana. Pengajaran kosakata disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, alasan yang mendorong pembelajaran kosakata bahasa Indonesia pada PAUD adalah untuk mengenalkan kosakata bahasa Indonesia yang benar kepada anak karena mengingat bahwa bahasa ibu bagi sebagian besar siswa adalah bahasa Jawa. Kesadaran pembelajaran kosakata pada anak juga didasari tujuan untuk menambah wawasan dan perbendaharaan kosakata pada anak.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, sebelum mengajarkan kosakata, guru PAUD melalukan persiapan terlebih dahulu. Persiapan-persiapan tersebut antara lain menyusun SKH (Satuan Kegiatan Harian), membuat media peraga tentang kosakata yang diajarkan, melakukan tanya jawab dengan siswa berkaitan dengan kosakata yang akan diajarkan. Adapun alat peraga yang dipersiapkan disesuaikan dengan dengan SKH. Misalnya, pada tema kesehatan, maka dipersiapkan media gambar berupa gambar empat sehat lima sempurna. Atau menyediakan alat peraga berupa mobil-mobilan untuk mengajarkan alat-alat transportasi. Selain alat peraga yang berupa gambar, juga dipersiapkan tulisan yang berfungsi sebagai media tanya jawab dengan anak.
Secara umum, jenis kosakata yang diajarkan guru PAUD disesuaikan dengan kosakata yang berhubungan dengan anak. Misalnya, urutan kegiatan pembelajaran yang dilakukan anak merupakan urutan kosakata yang diajarkan. Dalam hal ini, urutan kegiatan pembelajaran menentukan jenis kosakata yang diajarkan. Adapun urutan kegiatan tersebut antara lain salam—do’a—bernyanyi—bercerita—bekerja—bermain—makan—minum—pulang. Urutan kegiatan tersebut secara tidak langsung telah membelajarkan kosakata bagi siswa. Contoh yang mudah adalah dengan bekerja atau memberi tugas kepada siswa. Terlebih dahulu, guru mengenalkan sebuah gambar rumah beserta bagian-bagiannya dan sekeliling rumah. Anak disuruh untuk menyebutkan bagian-bagian rumah tersebut dan unsur warna yang membangun bagian-bagian rumah tersebut. Lebih lanjut, anak diberi gambar rumah (tanpa diberi warna) seperti yang dimodelkan guru. Anak mewarnai gambar tersebut. Dengan mewarnai, anak akan belajar kosakata. Misalnya, adanya gambar pohon, anak akan memberikan warna hijau sesuai dengan yang dilihatnya dalam kehidpan sehari-hari. Hal ini tentnunya menimbulkan tanya jawab antara siswa dan siswa, dan siswa dan guru. Adanya tanya jawab antara siswa dengan guru yang dilakukan sebelumnya telah membangun adanya pengetahuan anak tentang rumah dan bagian-bagian yang sesuai dengan gambar tersebut. Pembelajaran kosakata juga dimulai dari pembelajaran kosakata yang sederhana. Kosakata yang berhubungan dengan diri dengan diri sendiri, misalnya aku-saya-kamu, dan seterusnya juga merupakan cara urutan yang dipilih guru. Untuk memudahkan lagi, guru PAUD juga memilih kosakata yang berupa kata benda yang ada di sekitar anak. Alasannya adalah agar anak mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya dengan mudah.
Guru PAUD menerapkan teknik/cara tertentu dalam pembelajaran kosakata agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Agar tidak membosankan, guru PAUD menerapkan beragam teknik pembelajaran. Teknik-teknik tersebut antara lain tanya jawab, bercakap-cakap, bercerita, pemberian tugas, eksperimen, praktik langsung, demonstrasi, dramatisasi, dan karya wisata. Misalnya, pada pembelajaran bercerita. Jika ada kosakata yang belum dimengerti anak, maka guru menjelaskan arti kosakata tersebut. Guru menekankan pembelajaran kosakata, guru mengucapkan kosakata yang jelas dengan cara memperjelas artikulasi bunyi tersebut.
Tentunya, dengan beragam teknik tersebut, ada beberapa teknik/cara yang berhasil dalam pembelajaran kosakata pada anak. Misalnya, teknik pemberian tugas. Pemberian tugas antara lain dengan cara anak diberi tugas untuk mencontoh huruf dengan cara menghubungkan titik. Dalam hal ini, guru menggunakan sumber belajar berupa buku kerja siswa. Di dalam buku tersebut, terdapat titik-titik yang membentuk suatu huruf tertentu dan anak disuruh untuk menghubungkan titik-titik tersebut. Misalnya, diberikan titik-titik yang membentuk huruf “A”. Pada lembar tersebut, terdapat kosakata tertentu yang dibangun oleh huruf “A”, misalnya “apel” beserta gambar buah tersebut. Sedangkan titik-titik yang membangun huruf “A” tersebut berjumlah banyak sehingga akan ada huruf “A” yang banyak pula. Hal ini bertujuan agar anak terampil menulis huruf “A”. Selain itu, adanya media yang berupa gambar (dalam hal ini adalah gambar apel), akan memudahkan anak untuk belajar mengenal kosakata yang dibangun oleh huruf awal “A”. Hal ini diharapkan anak agar dapat mengenali kosakata lain yang dibangun oleh huruf awal “A”, misalnya anak, adik, alpukat, dan seterusnya. Teknik percakapan (tanya jawab) dan pendemonstrasian berupa pengenalan geometri/bentuk benda di kelas juga merupakan teknik yang berhasil dalam pembelajaran kosakata. Tanya jawab dapat merespon anak berbicara dengan baik. Selain itu, dikenal adanya teknik bercerita yang juga dianggap berhasil dalam pembelajaran kosakata. Hal ini dapat diketahui dari jika ketika anak ditanya tentang cerita yang telah diperdengarkan guru, anak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat. Dari beberapa teknik tersebut, tentunya tidak terlepas dari alat peraga pembelajaran. Dengan adanya alat peraga pembelajaran, anak dapat mengenali kosakata-kosakata baru dengan lebih cepat dan baik.
Secara keseluruhan, guru PAUD menggunakan alat peraga/media dalam pembelajaran kosakata. Adapun jenis media tersebut antara lain berbagai macam media gambar, benda tiruan, bentuk-bentuk bangun (geometri), boneka tangan, kartu kata, komputer, dan kartu huruf. Tetapi, secara umum, jenis media yang selalu dipersiapkan guru adalah media gambar.
Lebih lanjut, guru PAUD memberikan tanggapan dan harapan terkait dengan pembelajaran kosakata pada anak usia dini. Tanggapan tersebut antara lain dengan pembelajaran kosakata yang baik, maka pembelajaran dapat diterima dengan baik oleh anak. Pembelajaran kosakata pada PAUD memudahkan anak berkomunikasi dalam lingkungan sehari-hari. Kosakata hendaknya diajarkan sejak dini pada anak untuk memudahkan anak berkomunikasi di lingkungannya. Pembelajaran kosakata hendaknya diajarkan dengan baik dan benar karena pembelajaran di TK merupakan pondasi pada pembelajaran-pembelajaran di jenjang selanjutnya. Sebaiknya, pembelajaran kosakata dilakukan dengan pengucapan yang benar dan perlu adanya pengulangan terhadap kosakata-kosakata yang diajarkan tersebut. Pembelajaran kosakata sangat penting. Hal ini disebabkan dengan pembelajaran kosakata diharapkan anak semakin banyak mengenal kosakata yang sangat mendukung komunikasi. Kesimpulan umum tanggapan dan harapan tersebut adalah bahwa pembelajaran kosakata sangat penting dilakukan.
c. Daya Dukung Media dan Alat Pembelajaran Kosakata yang selama ini Digunakan oleh Guru TK
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran, diketahui bahwa daya dukung media dan alat pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru TK dapat disajikan sebagaimana berikut.
Tabel 2: Daya Dukung Media dan Alat Pembelajaran Kosakata
No. Jenis Daya Dukung Penjelasan
1. Berbagai jenis gambar diam
Berbagai gambar diam tersebut misalnya:
- Alat transportasi
- Pohon dan bagian-bagiannya
- Berbagai macam pekerjaan
- Pengenalan nama-nama bulan dalam tahun
- Empat sehat lima sempurna
- Guru dan siswa
- Proses pencucian pakaian hingga penyimpanan di almari
2. Komputer Pembelajaran interaktif
3. Boneka tangan Sarana untuk bercerita
4. Puzzle
5. Benda-benda geometri Jenis bentuk-bentuk benda, misalnya kotak, bulat, limas, kerucut, dan sebagainya.
6. Majalah Majalah berisi
7. Tiruan benda-benda konkret - Sekelompok alat transportasi (darat, udara, dan laut)
- Seperangkat alat peralatan dapur
- Berbagai jenis hewan
- Sistem penyusun alam sekitar
- Anggota keluarga
8. Kartu kata Pengenalan kata
9. Kartu huruf
10. Buku kerja siswa Buku kerja siswa meliputi buku
11. Kartu gambar, huruf, dan kosakata Serangkaian gambar, huruf, dan kosakata
d. Prototipe Model Media Pembelajaran Kosakata Berbasis Audio Visual Sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Berbahasa Indonesia Anak Usia Dini
Berdasarkan hasil pengkajian teori pembelajaran bahasa, teori pembelajaran dan pemerolehan kosakata, teori perkembangan anak, model-model permainan anak, teori pembuatan media pembelajaran, dan hasil survei lapangan dilakukan pengembangan prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini.
Ada tiga kegiatan yang dilakukan pada pengembangan prototipe model ini, yaitu pembuatan CD (baik pembuatan animasi, perekaman adegan, maupun pembuatan gambar), penyusunan buku siswa, dan penyusunan panduan guru. Hasil ketiga kegiatan tersebut terlihat sebagai berikut.
1) Pengembangan CD Audio-Visual
Pada pengembangan CD Audio-Visual diawali dengan penyusunan “script” (naskah) yang siap ditransfer dalam bentuk audio-visual. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan “script” prototipe model audi-visual ini adalah (a) penentuan topik didasarkan pada klasifikasi kosakata dasar yang ditemukan dalam pemakaian anak dalam kehidupan sehari-hari, (b) pemakaian kosakata dasar dikemas dalam konteks komunikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, (c) skenario pembelajaran diawali dan diakhiri dengan “Lagu Wajib” yang dapat mendorong kecintaan terhadap bahasa Indonesia, (d) sebagai apersepsi, diperdengarkan lagu, cerita, konteks, atau peristiwa yang terkait dengan topik yang akan dipelajari siswa, (e) penjelasan narator yan terkait dengan konteks atau materi pelajaran dikemas secara interaktif sehingga siswa merasa terlibat langsung dalam pembelajaran, dan (f) pertanyaan, perintah, atau tugas yang disampaikan narator mengacu pada setiap kompetensi yang ingin dicapai pada pembelajaran, dengan tetap memperhatikan konsep Pakem.
2) Penyusunan Buku Siswa
Sebagai kelengkapan pembelajaran audio-visual, buku siswa diharapkan dapat mendukung kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, buku siswa ini dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mempercepat ketercapaian kompetensi pembelajaran, dengan tetap memperhatikan perkembangan anak usia dini.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penyusunan buku siswa adalah (a) jenis kegiatan yang terdapat dalam buku siswa disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak usia dini, (b) format buku siswa disusun dengan pendekatan belajar sambil bermain. Misalnya, dengan memasangkan gambar dan kata yang sesuai, mengisi huruf yang rumpang, meniru tulisan yang tersedia, menyambung titik tulisan atau gambar, dan (c) fokus kegiatan yang terdapat pada buku siswa disesuaikan dengan topik yang terdapat dalam CD audio-visual.
3) Penyusunan Buku Panduan Guru/Orangtua
Buku panduan guru ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan tuntunan guru/orangtua dalam pembelajaran kosakata berbasis audio-visual. Oleh karena itu, sebelum media audio-visual disajikan kepada siswa atau anak, guru atau orangtua hendaknya memahami isi pandun ini.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penyusunan panduan guru adalah (a) buku panduan berisi penjelasan tentang kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai siswa/anak, (b) buku panduan berisi penjelasan materi pembelajaran yang mendukung kompetensi pembelajaran, (c) buku panduan berisi penjelasan tentang evaluasi pembelajaran yang dapat mengukur ketercapa kompetensi pembelajaran, dan (d) buku panduan berisi langkah-langkah yang dilakukan guru/orangtua pada setiap satuan pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
a. Simpulan
1. Jenis kosakata dasar yang dipakai anak PAUD adalah kata-kata kekerabatan, kata ganti, kata kerja, kata keadaan, kata benda, rasa, anggota tubuh, pakaian, bagian rumah, warna, bentuk, dan waktu.
2. Kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD dapat dilihat dari kinerja dan wawasan guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Kondisi kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dapat diketahui dari persiapan (yang meliputi pembuatan RPP, kesiapan alat peraga pembelajaran, dan ketersediaan media pembelejaran) dan pelaksanaan pembelajaran di kelas (yang meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran).
3. Terkait dengan wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata, semua guru berpendapat bahwa pembelajaran kosakata sangat penting karena perbendaharaan kata bagi anak diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan teman dan keluarganya serta untuk menyatakan/mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Semakin banyak anak mengenal kosakata, semakin memudahkan anak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain.
4. Media dan alat pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru PAUD berupa berbagai jenis gambar diam, komputer, boneka tangan, puzzle, benda-benda geometri, majalah, tiruan benda-benda konkret, kartu kata, kartu huruf, buku kerja siswa, kartu gambar berhuruf-kosakata. Dalam praktiknya, berbagi media tersebut dilaksanakan secara variatif.
5. Prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa seperangkat CD yang berupa adegan yang berfokus pada pemakaian kosakata tertentu (sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai), buku siswa, dan panduan guru/orangtua.
b. Saran
1. Temuan klasisifikasi kosakata dasar yang dipakai oleh anak usia dini ini mengindikaskan bahwa materi pembelajaran kosakata dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada PAUD harus bersumber pada kata-kata seputar klasifikasi tersebut. Dengan cara demikian, selain sesuai dengan perkembangan anak, juga akan sesuai dengan kebutuhan anak.
2. Prototipe model pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang dihasilkan dalam penelitian ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Hal ini mengingat bahwa masih banyak klasisifikasi kosakata dasar yang belum dikembangkan model pembelajarannya dalam penelitian ini.
3. Sekiranya guru-guru PAUD bermaksud mengembangkan media pembelajaran kosakata berbasis audio-vsual, prototipe ini dapat dipakai sebagai bahan rujukan, setidak-tidaknya sebagai bahan perbandingan.
PUSTAKA RUJUKAN
Bredekamp, Sue. 1992. Developmentally Appropriate Practice in Early Child-hood Programs Serving Children From Birth Through Age 8. Washington: National Association for the Education of Young Children.
Brewer, Jo Ann. 1995. Introduction to Early Childhood Education : Preschool trough Primary Grades. Boston : Allyn and Bacon.
Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts : A Stident- and Response- Cen-tered Classroom. Boston : Allyn and Bacon.
Dawud. 1997. “Pola Asosiasi Kata dalam Pemerolehan Kalimat.” Jurnal Pen-didikan Universitas Negeri Malang, Tahun 6, omor 2, November 1997.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kurikulum TK. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Din: Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hainstock, Elizabeth G. 2002. Montessori untuk Sekolah Dasar. Edisi Revisi. (llih Bahasa: Hermes). Jakarta: PT Pustaka Delapratasa
Krashen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Langu-age Learning. California : Pergamon Press
Lambert, Wallace E. 1972. Language, Psychology, and Culture. California: Stanford University Press.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2003. Bercerita untuk Anak Usia Dini : Panduan bagi Guru Taman Kanak-kanak. Jakarta : P2TKKPT Ditjen Dikti
Muslich, Masnur. 2000. ”Kondisi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang”. Laporan Penelitian. Publikasi terbatas.
________. 2002. ”Efektivitas Penggunaan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang”. Laporan Penelitian. Publikasi Terbatas.
National Institute Leteracy. 2006. Vocabulary Instruction. Dwondload internet, 02 Februari 2007.
Steinberg, Danny D. et al. 2001. Psycholinguistics: Language, Mind and World. London : Longman
Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Usia Dini. Jakarta: Grasindo.
Winihasih. 1997. “Alternatif Model Pembelajaran Kosakata di Sekolah Dasar.” Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Malang, Tahun 6, omor 2, November 1997.
BERBASIS AUDIO-VISUAL UNTUK PENINGKATAN KOMPETENSI
BERBAHASA INDONESIA ANAK USIA DINI
Masnur Muslich dan Suyono
Abstrak: Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi tentang (1) kosakata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari, (2) kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK, (3) media pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru TK dalam rangka pencapaian kompetensi berkomunikasi berbahasa Indonesia bagi siswanya, dan (4) penyusunan model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa indonesia anak usia dini. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain pengembangan dengan ujicoba di sepuluh TK sasaran, dihasilkan deskripsi kosakata dasar yang dipakai oleh anak usia dini, kondisi pembelajaran kosakata dasar, media pembelajaran kosakata yang digunakan di TK, dan prototipe media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual dalam rangka peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini. Prototipe media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual hasil penelitian ini selain dapat dimanfaatkan setiap guru pada lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) juga dapat dipakai sebagai dasar pengembangan media pembelajaran lebih lanjut.
Kata kunci: media pembelajaran kosa kata, kompetensi berbahasa anak usia dini.
Ada tiga hal pokok yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian pegembangan ini. Pertama, penelitian Muslich tentang ”Kondisi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang” (tahun 2000) diperoleh temuan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia yang selama ini diterapkan oleh guru-guru TK Kota Malang (alih-alih disebut Pendidikan Anak Usia dini atau PAUD) kurang manarik sehingga tidak bisa membangkitkan motivasi anak untuk belajar secara aktif dan kreatif. Di samping itu, strategi pembelajaran kurang ada variasi sehingga mudah menimbulkan rasa bosan pada diri anak. Akibat lanjutnya adalah anak kurang tertarik pada pembelajaran bahasa Indonesia. Kedua, penelitian Muslich tentang ”Efektivitas Penggunaan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang” (tahun 2002) diperoleh temuan bahwa media pembelajaran yang selama ini digunakan dalam pembelajaan bahasa Indonesia pada siswa TK/PAUD Kota Malang kurang memperhatian ciri-ciri PAKEM. Hal ini dibuktikan dengan pemilihan media yang kurang sesuai dengan perkembangan psikis dan kesenangan anak. Di samping itu, penggunaan media pembelajaran hanya sekedar dipraktikkan di depan kelas tanpa menyesuaikannya dengan kompetensi atau tujuan pembelajaran yang diamanatkan oleh Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini.
Ketiga, ketika peneliti bertugas selama satu semester (Juli – Desember 2006) di Thailand Selatan, sempat mengamati pelaksanaan pembelajaran bahasa Thai pada anak usia dini yang kondisinya berkebalikan dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia pada usia yang sama di Indonesia. Di Kindergarten atau TK/PAUD di bawah naungan Prince of Songkhla University, Pattani Campus ini, pembelajaran bahasa berlangsung secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Lewat media audio-visual yang ditayangkan di kelas, anak-anak bisa dengan cepat memahami dan mempraktikkan kosakata yang menjadi fokus pembelajaran dalam berkomunikasi. Kondisi pembelajaran bahasa lewat media audio-visual di Thailand Selatan ini apabila dikembangkan di Indonesia tentu akan dapat meningkatkan kompetensi berbahasa anak usia dini.
Pada sisi lain, kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa di setiap satuan pendidikan adalah agar para siswa terampil berbahasa, baik reseptif lisan (menyimak), produktif lisan (berbicara), reseptif tulis (membaca), maupun produktif tulis (menulis). Dalam praktiknya, keterampilan berbahasa memerlukan penguasaan kosakata yang memadai sehingga gagasan yang ingin disampaikan dapat tersalurkan dengan baik. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan kosakata yang memadai akan dapat menentukan kualitas berbahasa seseorang. Untuk mencapai tujuan itu, pembelajaran kosakata harus dilakukan sejak usia dini, yang secara formal dimulai sejak di anak berada di TK/PAUD (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993 dan Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Pada tahap itu, pembelajaran kosakata harus dilakukan secara efektif, yaitu pembelajaran kosakata secara kontekstual, pembelajaran yang sesuai dengan tujuan komunikasi, pembelajaran yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari, dan dilaksanakan secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (National Institute Leteracy, 2006).
TEORI PEMBELAJARAN KOSAKATA
Pembelajaran kosakata yang bertujuan untuk meningkatakan kompetensi berbahasa siswa dapat dilakukan sebagai berbagai metode, di antaranya melalui belajar melalui cerita, belajar melalui bermain, belajar melalui bernyanyi, dan belajar melalui bercakap-cakap. Pertama, belajar melalui cerita. Cerita mendorong anak untuk belajar mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa, mengidentifikasi kata-kata, dan menarik makna dari konteks. Dialog dalam cerita mendorong anak belajar pragmatika berbahasa tentang bagaimana memulai pembicaraan, memilih sapaan, salam, dan pola pergiliran bicara (Musfiroh, 2003).
Para ahli seperti Dyson, Morrow, Owocki dan Schic-kendaz mengatakan bahwa kegiatan berbicara dan mendengarkan dalam bercerita (sebagaimana bermain dan menggambar) merupakan sarana dan media pengembangan dan penggunaan pengetahuan tentang bahasa tulis dan bahasa lisan (Bredekamp, 1992)
Cerita yang dikemas dalam wujud buku bergambar juga dapat membantu memperbaiki kesalahan identifikasi lambang tertulis (huruf). Pada saat mencocokkan cerita dengan lambang atau tulisan, anak terbantu oleh bentuk kata (baca: lafal kata) yang telah dikuasainya. Huruf e pada tempe dan bebek, misalnya, masing dibaca [bєbє?] dan [tempe]. Setelah menyi-mak pembacaan cerita bergambar oleh guru, anak akan tergelitik untuk mencocokkan lambang tulis dengan pelafalan (Bandingkan dengan Sudono, 2000 dan Hainstock, 2002).
Membicarakan isi cerita dengan anak, menurut kajian para ahli, membentuk scaffolding yang membuat anak memberikan perhatian dan memberikan konteks yang berdaya bagi anak untuk belajar bahasa dan menumbuhkan literasi mereka (Brewer, 1995). Stimulasi perkembangan struktur kalimat melalui cerita tidak akan mencapai efek maksimal jika guru tidak melatih anak untuk bercerita ulang (retelling). Melalui retelling dapat diketahui apakah anak dapat menangkap isi cerita dan dapat mengungkapkan kembali dengan kata dan struktur yang mendekati model (baca: guru).
Dialog dalam cerita dapat menjadi model bagi anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal. Fitur (ciri) struktur kalimat bahasa Indonesia dapat diidentifikasi anak melalui contoh dialog cerita. Selain itu, anak juga memperoleh keluasan kata sehingga kalimat yang dihasilkan lebih baik (Bandingkan dengan Dawud, 1997 dan Winihasih, 1997).
Kedua, belajar melalui bermain. Bermain, apa pun bentuknya, mendorong minat anak untuk bereksplorasi lebih jauh. Lebih-lebih kegiatan bermain peran. Hasil studi para ahli tentang dramatisasi cerita menunjukkan cerita didramatisasikan anak merupakan media utama untuk mengeksprsikan perkembangan kapasitas keberaksaraan anak atau literacy capacities (Bredekamp, 1992).
Permainan yang disajikan dalam penelitian ini meliputi permainan kartu bergambar, permainan teka-teki, melanjutkan cerita, dan menata kata. Permainan-permainan tersebut dimodifikasi dari permainan-permainan untuk mengembangkan kecerdasan linguistik yang diciptakan Musfiroh (2003). Permainan tersebut disajikan dalam bentuk dan perintah bahasa.
Ketiga, belajar melalui bernyanyi. Menyanyi merupakan salah satu metode “pengenalan” kosakata pada anak yang sangat efektif. Menyanyi menjadikan kata-kata lebih bermakna bahkan hingga anak-anak itu beranjak remaja. Oleh karena itu, guru perlu mengenal berbagai lagu. Jika perlu, guru dapat mengarang sendiri nyanyian sebagai pengembang kompetensi kosakata termasuk pelafalan dari kata-kata tersebut (Cox, 1999).
Kehadiran ritmik, pengulangan, dan pola rima di dalam nyanyian merupakan bentuk “pengajaran” bahasa tertua yang berisi budaya untuk konsumsi anak. “Pengajaran” melalui lagu mudah dicerna dan diingat, terutama karena “pelajaran” itu dapat dilakukan berulang-ulang baik melalui radio, televisi, maupun pengulangan sendiri oleh anak dan orang-orang di sekitarnya (Steinberg, 2001).
Pembelajaran melalui nyanyian sangat menyenangkan dan membuat anak senang mengulang-ulangnya. Anak-anak, secara bawah sadar, telah menyerap informasi yang terkandung dalam nyanyian sehingga memudahkan mereka mengingat kata-kata tertentu, seperti, nyanyian yang berisi angka (satu, dua, tiga, dan sebagainya).
Keempat, belajar melalui bercakap-cakap. Bercakap-cakap merupakan metode pembelajaran bahasa yang sangat efektif untuk mengembangkan kecakapan berbicara (termasuk kecakapan pragmatik) sekaligus dapat dipergunakan untuk mengukur seberapa tingkat penguasaan anak terhadap bahasa target. Sayangnya, apabila tidak dilakukan secara hati-hati, metode ini akan membuat anak diam seribu bahasa.
Selain itu, metode bercakap-cakap dapat dimanfaatkan anak sebagai model berbicara. Misalnya, penelitian Musfiroh (2003) mengenai tuturan bilingual anak TK di DIY menunjukkan bahwa anak-anak mengalami kesulitan membedakan fitur bahasa Jawa dan Indonesia karena guru mereka memberi pajanan bahasa yang tidak konsisten.
Sebenarnya, metode bercakap-cakap sangat efektif untuk membiasakan anak bersikap sopan, seperti dalam mengucapkan salam, mengajukan permohonan, meminta tolong, dan mengucapkan terima kasih. Oleh karena itu, pembiasaan berbicara dalam bahasa Indonesia sangat penting untuk diterapkan. Hanya saja, kritik dan pembetulan tidak disarankan untuk diberikan (Cox, 1999).
Berdasarkan temuan penelitian Muslich yang ditunjang oleh hasil pengamatan pembelajaran bahasa di Kingergarten Thailand Selatan tersebut dan pentingnya penguasaan kosakata dalam keterampilan berbahasa, penelitian ini memfokuskan pada pengembangan media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang secara potensial diharapkan dapat meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini. Adapun masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: (a) Apa saja jenis kosakata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari? (b) Bagaimana kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD? (c) Bagaimana kesiapan daya dukung media atau alat pembelajaran kosakata apa yang selama ini digunakan oleh guru PAUD dalam rangka pencapaian kompetensi berkomunikasi berbahasa Indonesia bagi anak usia dini? (d) Bagaimana prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa indonesia anak usia dini?
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan (1), (2), dan (3), digunakan desain penelitian kualitatif, dengan pertimbangan bahwa (a) penelitian ini memiliki data langsung yang bersifat alami, yaitu kata-kata yang selama ini dipakai oleh anak usia dini dalam kegiatan sehari-hari, pembelajaran kosakata yang selama ini diterapkan guru, dan media pembelajaran yang dipakai/digunakan guru, (b) instrumen pokok penelitian ini adalah peneliti sendiri, (c) data penelitian ini bersifat deskriptif, (d) lebih mengutamakan proses daripada hasil, (e) analisis data dilakukan secara induktif, dan (f) makna (meaning) merupakan perhatian utama. Penelitian yang memiliki ciri semacam itu oleh Bogdan dan Biklen (1982) dinamakan penelitian kualitatif.
Sasaran representatif subjek penelitian ditentukan berdasar stratifikasi area. Karena Kota Malang terdiri atas lima kecamatan, yaitu kecamatan Klojen, Lowokwaru, Kedungkandang, Blimbing, dan Sukun, masing-masingnya diambil dua sekolah secara purposif. Dengan demikian, ada sepuluh TK yang siswa dan gurunya menjadi sampel penelitian ini.
Data penelitan ini ada tiga jenis, yaitu berupa (1) kata-kata dasar (basic vocabulary) bahasa Indonesia yang biasa siswa dalam komunikasi sehari-hari, (2) kinerja guru dalam pembelajaran kosakata, dan (3) media pembelajaran yang dipakai/digunakan guru dalam pembelajaran kosakata, Data dikumpulkan dengan cara (1) pengamatan langsung ke subjek penelitian (baik siswa maupun guru TK), (2) penyebarkan angket ke setiap subjek penelitian, dan (3) pendokumentasian. Cara pertama dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang kosakata dasar (basic vocabulary) yang dipakai oleh anak usia dini dalam berkomunikasi sehari-hari dan kinerja guru TK dalam pembelajaran kosaka. Cara kedua dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang pendapat dan wawasam guru TK terkait dengan pembelajaran kosakata, khusunya tentang pemakaian media pembelajarannya. Cara ketiga dilakukan dalam rangka ingin memperoleh deskripsi tentang persiapan guru tentang pembelajaran kosakata dan media pembelajaran yang digunakan/ dikembangkannya. Data yang diperoleh dari ketiga cara tersebut disajikan dalam tabel pengumpul data yang sudah disiapkan.
Untuk mencapai tujuan (4), yaitu memperoleh prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini digunakan desain penelitian pengembangan dengan tahapan dan prosedur kerja sebagai berikut. Pertama, pengkajian teori terkait dengan (a) pembelajaran bahasa, (b) pembelajaran dan pemerolehan kosakata, (c) perkembangan anak, (d) model-model permainan anak, dan (e) pembuatan media pembelajaran. Kedua, telaah kurikulum pendidikan anak usia dini (PAUD) dan pemetaan kosakata dasar bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari. Hasil telaah kedua kegiatan ini dipakai sebagai dasar untuk menentukan kosakata apa perlu dikembangkan dalam pengembangan model media pembelajaran. Ketiga, pengembangan prototipe model media pembelajaran. Ada tiga kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, yaitu pembuatan CD (baik pembuatan animasi, perekaman adegan, maupun pembuatan gambar), penyusunan buku siswa, dan penyusunan panduan guru. Apabila prosedur kerja tersebut divisualisasikan dalam bentuk bagan, terlihat pada bagan alir berikut.
Bagan Alir Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kosakata Dasar (Basic Vocabulary) Bahasa Indonesia yang Dipakai oleh Anak Usia Dini
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa kosakata dasar bahasa Indonesia yang dipakai oleh anak usia dini dalam kehidupan sehari-hari dapat diklasifikasikan sebagaimana tabel berikut.
Tabel 1: Klasifikasi Kosakata Dasar Bahasa Indonesia yang Dipakai oleh Anak Usia Dini dalam Kehidupan Sehari-hari
No. Klasifikasi Kata yang Ditemukan
1. Kekerabatan ibu, ayah, anak, adik, saudara, kakak, kakek, nenek, paman (om), bibi (tante), papa, mama
2. Kata ganti aku (saya), kamu, dia, mbak, mas, ini, itu, (di) sini, (di) sana, (di) situ, (di) depan, (di) belakang, di (samping), (di) atas, (di) bawah, (di) luar, (di) dalam, di (kanan).
3. Kata Kerja berdiri, duduk, makan, minum, tidur, bangun, berlari, melihat, mendengar, mencium, membaca, menulis, menyanyi, bergurau, bercerita, belajar, bekerja, memotong, pipis (buang air kecil), mendorong, berjalan, menghadap, bermain, berperang, menembak, shalat, ngomong.
4. Kata Keadaan lapar, kenyang, haus, senang, susah, sakit, sehat, bersih, kotor, jauh, dekat, besar, kecil, panjang, pendek, tinggi, rendah, jauh, dekat, siang, malam, gelap, terang, kering.
5. Kata Benda air, api, bulan, bintang, matahari, hewan, tumbuhan, rumah, sekolah, kursi, meja, bangku, gelas, dot (botol susu), mobil-mobilan, buku, penghapus, tas, pensil, rautan pensil, meja, majalah, papan tulis, telur, susu, mie, sayur, susu, gelas.
6. Rasa pahit, manis, asin, pedas,
7. Anggota Tubuh kepala, tangan, kaki, mata, hidung, telinga, mulut, rambut, kumis.
8. Pakaian baju, celana, topi, kerudung, sarung, sandal, sepatu, kaos kaki, dasi, kalung, gelang, cincin, mukena, sajadah
9. Bagian Rumah tembok, pintu, jendela, pagar, kamar, dapur,
10. Warna biru, hijau, kuning, jingga (orange), merah, pink (merah muda), ungu, hitam, cokelat, putih.
11. Bentuk kotak, bulat, garis, segitiga
12. Waktu Siang, pagi, sore, malam, kemarin, besok
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa ada beragam jenis klasifikasi kosakata dasar yang dipakai anak PAUD. Klasifikasi-klasifikasi tersebut antara lain kata kekerabatan, kata ganti, kata kerja, kata keadaan, kata benda, rasa, anggota tubuh, pakaian, bagian rumah, warna, bentuk, dan waktu. Hal ini mengindikaskan bahwa materi pembelajaan kosakata harus bersumber pada kata-kata seputar klasifikasi tersebut. Dengan cara demikian, selain sesuai dengan perkembangan anak, juga akan sesuai dengan kebutuhan anak.
b. Kondisi Pembelajaran Kosakata yang Diterapkan oleh Guru PAUD
Kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD ini dibahas dalam dua hal, yaitu (1) kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dan (2) wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Penjabaran kedua hal tersebut adalah sebagai berikut.
1) Kinerja Guru PAUD dalam Pembelajaran Kosakata
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK dapat dijelaskan sebagaimana berikut. Kondisi kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dapat diketahui dari dua tahap, yaitu persiapan dan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Persiapan pembelajaran meliputi kinerja guru membuat RPP, kesiapan alat peraga pembelajaran, dan ketersediaan media pembelejaran. Sedangkan pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Kedua tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, tahap persiapan pembelajaran. Persiapan yang dilakukan guru PAUD dalam pembelajaran kosakata meliputi membuat RPP, mempersiapkan alat peraga pembelajaran, dan menyediakan media pembelajaran.
Membuat RPP. RPP dikenal dengan SKH (Satuan Kegiatan Harian). SKH berisi serangkaian kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir yang disertai dengan identitas kompetensi yang akan dicapai, tahapan pembelajaran, metode, media pembelajaran, dan penilaian. SKH tersusun secara teratur dan terencana. SKH disusun dengan tujuan agar pembelajaran dapat terarah dan berhasil sesuai dengan tujuan. SKH disusun setiap kali pertemuan.
Kesiapan Alat Peraga Pembelajaran. Alat peraga pembelajaran dipersiapkan untuk mendukung pembelajaran. Alat peraga pembelajaran yang dipersiapkan disesuaikan dengan kompetensi/materi yang akan diajarkan. Misalnya, untuk tema kesehatan, dipilih alat peraga berupa gambar menu makanan empat sehat dan lima sempurna.
Ketersediaan Media Pembelajaran. Lebih lanjut, juga terdapat kesesuaian antara media pembelajaran dengan kompetensi/materi yang diajarkan. Media pembelajaran yang disediakan disesuaikan dengan kompetensi/materi yang diajarkan.
Kedua, tahap pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Apersepsi. Secara umum, kegiatan apersepsi meliputi salam, berdoa, bernyanyi, menanyakan kehadiran siswa, dan tanya jawab dengan tujuan untuk mengaitkan kompetensi yang akan dicapai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Apersepsi yang berupa salam secara tidak langsung telah mengajarkan kosakata dalam klasifikasi waktu. Misalnya, dengan salam “Selamat Pagi” anak telah dikenalkan waktu pagi. Bernyanyi bertujuan untuk membangkitkan semangat siswa. Hal ini didasari oleh suatu alasan bahwa bernyanyi merupakan salah satu hal yang dapat membuat anak senang dan tertarik dengan belajar. Selain itu, dengan bernyanyi anak secara tidak langsung telah mengenal kosakata yang tersusun dalam nyanyian tersebut. Menanyakan kehadiran siswa bertujuan untuk menumbuhkan rasa toleransi antarsiswa. Lebih lanjut, apersepsi juga dilakukan melalui tanya jawab. Tujuan tanya jawab ini adalah untuk mengaitkan antara kompetensi yang akan dicapai dengan kehidupan sehari-hari siswa. Selain itu, bertujuan untuk menggali pengathuan anak.
Keterlibatan Siswa. Pembelajaran membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Wujud keaktifan tersebut meliputi siswa memiliki rasa keingintahuan yang tinggi sehingga muncul beragam pertanyaan dari siswa, menirukan model yang dicontohkan guru, dan senang mengerjakan perintah guru. Untuk memicu dan menghilangkan kejenuhan, guru menyelinginya dengan nyanyian yang diiringi dengan tepukan.
Metode/Teknik Pembelajaran. Metode/teknik pembelajaran yang digunakan guru meliputi ceramah, tanya jawab, demonstrasi, pemodelan, belajar kelompok, penugasan, dan anekdot. Pada dasarnya, metode ceramah tetap dilakukan guru. Hal ini disebabkan anak PAUD merupakan usia yang butuh perhatian. Ketelatenan guru PAUD merupakan hal penting yang bertujuan untuk mengarahkan dan menertibkan siswa. Seringkali, anak usia PAUD masih belum bisa terfokus pada pembelajaran. Anak tersebut masih memerlukan pengaturan dan pengarahan. Untuk itu, metode ceramah senantiasa ada dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru juga sering memicu komunikasi siswa dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa. Hal ini bertujuan untuk menggali pengetahuan siswa berkaitan dengan kompetensi yang akan dicapai. Model dalam pembelajaran sangat penting. Dengan adanya model, diharapkan siswa dapat melakukan apa yang diperintahkan guru. Selain itu, dengan ditunjukkan adanya model secara langsung diharapkan kompetensi siswa tergali karena anak PAUD belum dapat berpikir secara abstrak. Ia akan mengetahui benar jika hal tersebut dialaminya. Guru juga mendemonstrasikan suatu media pembelajaran. Misalnya, guru menunjukkan adanya gambar rumah beserta bagian-bagiannya. Hal ini diharapkan akan ada respons bagi anak dengan menyebutkan bagian-bagian tersebut.
Penerapan Alat/Media Pembelajaran. Alat/media pembelajaran diterapkan dengan tujuan untuk mendukung proses pembelajaran. Secara umum, penerapan media pembelajaran mencapai tujuan pembelajaran.
Ketercapaian Pembelajaran. Teknik/metode dan alat peraga ditujukan untuk mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara umum, pembelajaran mencapai tujuan yang diharapkan. ...
Evaluasi Pembelajaran. Di akhir pembelajaran, guru mengadakan evaluasi. Wujud evaluasi itu antara lain menanyakan kembali kegiatan yang telah dilakukan, memberikan pesan-pesan yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran, memberikan tugas rumah kepada siswa, dan menutup pembelajaran dengan bernyanyi, doa, dan salam.
2) Wawasan dan Pendapat Guru PAUD dalam Pembelajaran Kosakata
Data tentang wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata diperoleh melalui teknik wawancara dengan memberikan instrumen pemandu berupa angket. Angket tersebut berisi sejumlah pertanyaan yang dirancang khusus untuk mengetahui wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Peneliti memberikan pengarahan dalam pengisian angket yang dilakukan oleh guru. Hal ini bertujuan agar jawaban-jawaban yang diberikan guru sesuai dengan kepentingan penelitian.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran diketahui bahwa wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru TK dapat dijelaskan sebagai berikut. Semua guru PAUD di TK sasaran berpendapat bahwa pembelajaran kosakata sangat penting. Hal ini disebabkan karena perbendaharaan kata bagi anak diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan teman dan keluarganya serta untuk menyatakan/mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Semakin banyak anak mengenal kosakata, maka memudahkan anak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi. Kosakata merupakan konsep awal berbahasa yang sederhana. Kosakata adalah modal dasar berbahasa.
Guru PAUD mengajarkan kosakata pada anak. Guru-guru mengajarkan kosakata bukan semata-mata karena tuntutan kurikulum. Tetapi, pengajarannya lebih didorong oleh alasan bahwa kosakata merupakan konsep awal pembelajaran berbahasa yang sederhana. Pengajaran kosakata disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Selain itu, alasan yang mendorong pembelajaran kosakata bahasa Indonesia pada PAUD adalah untuk mengenalkan kosakata bahasa Indonesia yang benar kepada anak karena mengingat bahwa bahasa ibu bagi sebagian besar siswa adalah bahasa Jawa. Kesadaran pembelajaran kosakata pada anak juga didasari tujuan untuk menambah wawasan dan perbendaharaan kosakata pada anak.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, sebelum mengajarkan kosakata, guru PAUD melalukan persiapan terlebih dahulu. Persiapan-persiapan tersebut antara lain menyusun SKH (Satuan Kegiatan Harian), membuat media peraga tentang kosakata yang diajarkan, melakukan tanya jawab dengan siswa berkaitan dengan kosakata yang akan diajarkan. Adapun alat peraga yang dipersiapkan disesuaikan dengan dengan SKH. Misalnya, pada tema kesehatan, maka dipersiapkan media gambar berupa gambar empat sehat lima sempurna. Atau menyediakan alat peraga berupa mobil-mobilan untuk mengajarkan alat-alat transportasi. Selain alat peraga yang berupa gambar, juga dipersiapkan tulisan yang berfungsi sebagai media tanya jawab dengan anak.
Secara umum, jenis kosakata yang diajarkan guru PAUD disesuaikan dengan kosakata yang berhubungan dengan anak. Misalnya, urutan kegiatan pembelajaran yang dilakukan anak merupakan urutan kosakata yang diajarkan. Dalam hal ini, urutan kegiatan pembelajaran menentukan jenis kosakata yang diajarkan. Adapun urutan kegiatan tersebut antara lain salam—do’a—bernyanyi—bercerita—bekerja—bermain—makan—minum—pulang. Urutan kegiatan tersebut secara tidak langsung telah membelajarkan kosakata bagi siswa. Contoh yang mudah adalah dengan bekerja atau memberi tugas kepada siswa. Terlebih dahulu, guru mengenalkan sebuah gambar rumah beserta bagian-bagiannya dan sekeliling rumah. Anak disuruh untuk menyebutkan bagian-bagian rumah tersebut dan unsur warna yang membangun bagian-bagian rumah tersebut. Lebih lanjut, anak diberi gambar rumah (tanpa diberi warna) seperti yang dimodelkan guru. Anak mewarnai gambar tersebut. Dengan mewarnai, anak akan belajar kosakata. Misalnya, adanya gambar pohon, anak akan memberikan warna hijau sesuai dengan yang dilihatnya dalam kehidpan sehari-hari. Hal ini tentnunya menimbulkan tanya jawab antara siswa dan siswa, dan siswa dan guru. Adanya tanya jawab antara siswa dengan guru yang dilakukan sebelumnya telah membangun adanya pengetahuan anak tentang rumah dan bagian-bagian yang sesuai dengan gambar tersebut. Pembelajaran kosakata juga dimulai dari pembelajaran kosakata yang sederhana. Kosakata yang berhubungan dengan diri dengan diri sendiri, misalnya aku-saya-kamu, dan seterusnya juga merupakan cara urutan yang dipilih guru. Untuk memudahkan lagi, guru PAUD juga memilih kosakata yang berupa kata benda yang ada di sekitar anak. Alasannya adalah agar anak mengenali benda-benda yang ada di sekitarnya dengan mudah.
Guru PAUD menerapkan teknik/cara tertentu dalam pembelajaran kosakata agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Agar tidak membosankan, guru PAUD menerapkan beragam teknik pembelajaran. Teknik-teknik tersebut antara lain tanya jawab, bercakap-cakap, bercerita, pemberian tugas, eksperimen, praktik langsung, demonstrasi, dramatisasi, dan karya wisata. Misalnya, pada pembelajaran bercerita. Jika ada kosakata yang belum dimengerti anak, maka guru menjelaskan arti kosakata tersebut. Guru menekankan pembelajaran kosakata, guru mengucapkan kosakata yang jelas dengan cara memperjelas artikulasi bunyi tersebut.
Tentunya, dengan beragam teknik tersebut, ada beberapa teknik/cara yang berhasil dalam pembelajaran kosakata pada anak. Misalnya, teknik pemberian tugas. Pemberian tugas antara lain dengan cara anak diberi tugas untuk mencontoh huruf dengan cara menghubungkan titik. Dalam hal ini, guru menggunakan sumber belajar berupa buku kerja siswa. Di dalam buku tersebut, terdapat titik-titik yang membentuk suatu huruf tertentu dan anak disuruh untuk menghubungkan titik-titik tersebut. Misalnya, diberikan titik-titik yang membentuk huruf “A”. Pada lembar tersebut, terdapat kosakata tertentu yang dibangun oleh huruf “A”, misalnya “apel” beserta gambar buah tersebut. Sedangkan titik-titik yang membangun huruf “A” tersebut berjumlah banyak sehingga akan ada huruf “A” yang banyak pula. Hal ini bertujuan agar anak terampil menulis huruf “A”. Selain itu, adanya media yang berupa gambar (dalam hal ini adalah gambar apel), akan memudahkan anak untuk belajar mengenal kosakata yang dibangun oleh huruf awal “A”. Hal ini diharapkan anak agar dapat mengenali kosakata lain yang dibangun oleh huruf awal “A”, misalnya anak, adik, alpukat, dan seterusnya. Teknik percakapan (tanya jawab) dan pendemonstrasian berupa pengenalan geometri/bentuk benda di kelas juga merupakan teknik yang berhasil dalam pembelajaran kosakata. Tanya jawab dapat merespon anak berbicara dengan baik. Selain itu, dikenal adanya teknik bercerita yang juga dianggap berhasil dalam pembelajaran kosakata. Hal ini dapat diketahui dari jika ketika anak ditanya tentang cerita yang telah diperdengarkan guru, anak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat. Dari beberapa teknik tersebut, tentunya tidak terlepas dari alat peraga pembelajaran. Dengan adanya alat peraga pembelajaran, anak dapat mengenali kosakata-kosakata baru dengan lebih cepat dan baik.
Secara keseluruhan, guru PAUD menggunakan alat peraga/media dalam pembelajaran kosakata. Adapun jenis media tersebut antara lain berbagai macam media gambar, benda tiruan, bentuk-bentuk bangun (geometri), boneka tangan, kartu kata, komputer, dan kartu huruf. Tetapi, secara umum, jenis media yang selalu dipersiapkan guru adalah media gambar.
Lebih lanjut, guru PAUD memberikan tanggapan dan harapan terkait dengan pembelajaran kosakata pada anak usia dini. Tanggapan tersebut antara lain dengan pembelajaran kosakata yang baik, maka pembelajaran dapat diterima dengan baik oleh anak. Pembelajaran kosakata pada PAUD memudahkan anak berkomunikasi dalam lingkungan sehari-hari. Kosakata hendaknya diajarkan sejak dini pada anak untuk memudahkan anak berkomunikasi di lingkungannya. Pembelajaran kosakata hendaknya diajarkan dengan baik dan benar karena pembelajaran di TK merupakan pondasi pada pembelajaran-pembelajaran di jenjang selanjutnya. Sebaiknya, pembelajaran kosakata dilakukan dengan pengucapan yang benar dan perlu adanya pengulangan terhadap kosakata-kosakata yang diajarkan tersebut. Pembelajaran kosakata sangat penting. Hal ini disebabkan dengan pembelajaran kosakata diharapkan anak semakin banyak mengenal kosakata yang sangat mendukung komunikasi. Kesimpulan umum tanggapan dan harapan tersebut adalah bahwa pembelajaran kosakata sangat penting dilakukan.
c. Daya Dukung Media dan Alat Pembelajaran Kosakata yang selama ini Digunakan oleh Guru TK
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah TK sasaran, diketahui bahwa daya dukung media dan alat pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru TK dapat disajikan sebagaimana berikut.
Tabel 2: Daya Dukung Media dan Alat Pembelajaran Kosakata
No. Jenis Daya Dukung Penjelasan
1. Berbagai jenis gambar diam
Berbagai gambar diam tersebut misalnya:
- Alat transportasi
- Pohon dan bagian-bagiannya
- Berbagai macam pekerjaan
- Pengenalan nama-nama bulan dalam tahun
- Empat sehat lima sempurna
- Guru dan siswa
- Proses pencucian pakaian hingga penyimpanan di almari
2. Komputer Pembelajaran interaktif
3. Boneka tangan Sarana untuk bercerita
4. Puzzle
5. Benda-benda geometri Jenis bentuk-bentuk benda, misalnya kotak, bulat, limas, kerucut, dan sebagainya.
6. Majalah Majalah berisi
7. Tiruan benda-benda konkret - Sekelompok alat transportasi (darat, udara, dan laut)
- Seperangkat alat peralatan dapur
- Berbagai jenis hewan
- Sistem penyusun alam sekitar
- Anggota keluarga
8. Kartu kata Pengenalan kata
9. Kartu huruf
10. Buku kerja siswa Buku kerja siswa meliputi buku
11. Kartu gambar, huruf, dan kosakata Serangkaian gambar, huruf, dan kosakata
d. Prototipe Model Media Pembelajaran Kosakata Berbasis Audio Visual Sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Berbahasa Indonesia Anak Usia Dini
Berdasarkan hasil pengkajian teori pembelajaran bahasa, teori pembelajaran dan pemerolehan kosakata, teori perkembangan anak, model-model permainan anak, teori pembuatan media pembelajaran, dan hasil survei lapangan dilakukan pengembangan prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual sebagai upaya peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia anak usia dini.
Ada tiga kegiatan yang dilakukan pada pengembangan prototipe model ini, yaitu pembuatan CD (baik pembuatan animasi, perekaman adegan, maupun pembuatan gambar), penyusunan buku siswa, dan penyusunan panduan guru. Hasil ketiga kegiatan tersebut terlihat sebagai berikut.
1) Pengembangan CD Audio-Visual
Pada pengembangan CD Audio-Visual diawali dengan penyusunan “script” (naskah) yang siap ditransfer dalam bentuk audio-visual. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan “script” prototipe model audi-visual ini adalah (a) penentuan topik didasarkan pada klasifikasi kosakata dasar yang ditemukan dalam pemakaian anak dalam kehidupan sehari-hari, (b) pemakaian kosakata dasar dikemas dalam konteks komunikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, (c) skenario pembelajaran diawali dan diakhiri dengan “Lagu Wajib” yang dapat mendorong kecintaan terhadap bahasa Indonesia, (d) sebagai apersepsi, diperdengarkan lagu, cerita, konteks, atau peristiwa yang terkait dengan topik yang akan dipelajari siswa, (e) penjelasan narator yan terkait dengan konteks atau materi pelajaran dikemas secara interaktif sehingga siswa merasa terlibat langsung dalam pembelajaran, dan (f) pertanyaan, perintah, atau tugas yang disampaikan narator mengacu pada setiap kompetensi yang ingin dicapai pada pembelajaran, dengan tetap memperhatikan konsep Pakem.
2) Penyusunan Buku Siswa
Sebagai kelengkapan pembelajaran audio-visual, buku siswa diharapkan dapat mendukung kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, buku siswa ini dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mempercepat ketercapaian kompetensi pembelajaran, dengan tetap memperhatikan perkembangan anak usia dini.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penyusunan buku siswa adalah (a) jenis kegiatan yang terdapat dalam buku siswa disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak usia dini, (b) format buku siswa disusun dengan pendekatan belajar sambil bermain. Misalnya, dengan memasangkan gambar dan kata yang sesuai, mengisi huruf yang rumpang, meniru tulisan yang tersedia, menyambung titik tulisan atau gambar, dan (c) fokus kegiatan yang terdapat pada buku siswa disesuaikan dengan topik yang terdapat dalam CD audio-visual.
3) Penyusunan Buku Panduan Guru/Orangtua
Buku panduan guru ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan tuntunan guru/orangtua dalam pembelajaran kosakata berbasis audio-visual. Oleh karena itu, sebelum media audio-visual disajikan kepada siswa atau anak, guru atau orangtua hendaknya memahami isi pandun ini.
Hal-hal yang diperhatikan dalam penyusunan panduan guru adalah (a) buku panduan berisi penjelasan tentang kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai siswa/anak, (b) buku panduan berisi penjelasan materi pembelajaran yang mendukung kompetensi pembelajaran, (c) buku panduan berisi penjelasan tentang evaluasi pembelajaran yang dapat mengukur ketercapa kompetensi pembelajaran, dan (d) buku panduan berisi langkah-langkah yang dilakukan guru/orangtua pada setiap satuan pembelajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
a. Simpulan
1. Jenis kosakata dasar yang dipakai anak PAUD adalah kata-kata kekerabatan, kata ganti, kata kerja, kata keadaan, kata benda, rasa, anggota tubuh, pakaian, bagian rumah, warna, bentuk, dan waktu.
2. Kondisi pembelajaran kosakata yang diterapkan oleh guru PAUD dapat dilihat dari kinerja dan wawasan guru PAUD dalam pembelajaran kosakata. Kondisi kinerja guru PAUD dalam pembelajaran kosakata dapat diketahui dari persiapan (yang meliputi pembuatan RPP, kesiapan alat peraga pembelajaran, dan ketersediaan media pembelejaran) dan pelaksanaan pembelajaran di kelas (yang meliputi apersepsi, keterlibatan siswa, metode/teknik pembelajaran, penerapan alat/media pembelajaran, ketercapaian pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran).
3. Terkait dengan wawasan dan pendapat guru PAUD dalam pembelajaran kosakata, semua guru berpendapat bahwa pembelajaran kosakata sangat penting karena perbendaharaan kata bagi anak diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari dengan teman dan keluarganya serta untuk menyatakan/mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain. Semakin banyak anak mengenal kosakata, semakin memudahkan anak untuk berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan dan gagasannya kepada orang lain.
4. Media dan alat pembelajaran kosakata yang selama ini digunakan oleh guru PAUD berupa berbagai jenis gambar diam, komputer, boneka tangan, puzzle, benda-benda geometri, majalah, tiruan benda-benda konkret, kartu kata, kartu huruf, buku kerja siswa, kartu gambar berhuruf-kosakata. Dalam praktiknya, berbagi media tersebut dilaksanakan secara variatif.
5. Prototipe model media pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa seperangkat CD yang berupa adegan yang berfokus pada pemakaian kosakata tertentu (sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai), buku siswa, dan panduan guru/orangtua.
b. Saran
1. Temuan klasisifikasi kosakata dasar yang dipakai oleh anak usia dini ini mengindikaskan bahwa materi pembelajaran kosakata dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada PAUD harus bersumber pada kata-kata seputar klasifikasi tersebut. Dengan cara demikian, selain sesuai dengan perkembangan anak, juga akan sesuai dengan kebutuhan anak.
2. Prototipe model pembelajaran kosakata berbasis audio-visual yang dihasilkan dalam penelitian ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Hal ini mengingat bahwa masih banyak klasisifikasi kosakata dasar yang belum dikembangkan model pembelajarannya dalam penelitian ini.
3. Sekiranya guru-guru PAUD bermaksud mengembangkan media pembelajaran kosakata berbasis audio-vsual, prototipe ini dapat dipakai sebagai bahan rujukan, setidak-tidaknya sebagai bahan perbandingan.
PUSTAKA RUJUKAN
Bredekamp, Sue. 1992. Developmentally Appropriate Practice in Early Child-hood Programs Serving Children From Birth Through Age 8. Washington: National Association for the Education of Young Children.
Brewer, Jo Ann. 1995. Introduction to Early Childhood Education : Preschool trough Primary Grades. Boston : Allyn and Bacon.
Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts : A Stident- and Response- Cen-tered Classroom. Boston : Allyn and Bacon.
Dawud. 1997. “Pola Asosiasi Kata dalam Pemerolehan Kalimat.” Jurnal Pen-didikan Universitas Negeri Malang, Tahun 6, omor 2, November 1997.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kurikulum TK. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Din: Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hainstock, Elizabeth G. 2002. Montessori untuk Sekolah Dasar. Edisi Revisi. (llih Bahasa: Hermes). Jakarta: PT Pustaka Delapratasa
Krashen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Langu-age Learning. California : Pergamon Press
Lambert, Wallace E. 1972. Language, Psychology, and Culture. California: Stanford University Press.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2003. Bercerita untuk Anak Usia Dini : Panduan bagi Guru Taman Kanak-kanak. Jakarta : P2TKKPT Ditjen Dikti
Muslich, Masnur. 2000. ”Kondisi Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang”. Laporan Penelitian. Publikasi terbatas.
________. 2002. ”Efektivitas Penggunaan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Siswa TK Kota Malang”. Laporan Penelitian. Publikasi Terbatas.
National Institute Leteracy. 2006. Vocabulary Instruction. Dwondload internet, 02 Februari 2007.
Steinberg, Danny D. et al. 2001. Psycholinguistics: Language, Mind and World. London : Longman
Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidikan Usia Dini. Jakarta: Grasindo.
Winihasih. 1997. “Alternatif Model Pembelajaran Kosakata di Sekolah Dasar.” Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Malang, Tahun 6, omor 2, November 1997.
Langganan:
Postingan (Atom)