Kamis, 17 September 2009

Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal

Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal
Oleh:
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang


Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.

Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.

Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.

Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.

Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal
“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.

Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.

Pustaka Acuan
Bro-dart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. Menulis, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. Struktur Bacaan Anak, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.


Sebagai cerita pada umumnya, buku cerita anak dibangun dalam sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang menyatu untuk mencapai kualitas maksimal sebuah cerita, yaitu tema, plot, karakter, gaya bahasa, dan ilustrasi (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
1. Tema adalah gagasan atau ide cerita yang dapat memberi pengetahuan baru mengenai kehidupan dalam konsep yang benar. Tema sebuah cerita adalah makna yang tersembunyi. Tema mencakup moral atau pesan/amanat cerita. Tema bagi cerita anak haruslah yang perlu dan baik bagi mereka. Ia harus mampu menerjemahkan kebenaran. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah tema tidak boleh mengalahkan alur dan tokoh-tokoh cerita. Tentu saja, buku yang ditulis dengan baik tidak akan menyampaikan pesan moral secara langsung, tetapi dilewatkan rangkaian cerita yang mengandung moral tertentu sehingga pesan akan mengalir dengan sendirinya. Dengan cara itu, tema disampaikan kepada anak secara tersamar. Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi.
2. Plot adalah kerangka cerita untuk membangun alur cerita yang dapat menumbuhkembangkan sistem penalaran atau berpikir logis. Kita tahu bahwa dalam cerita fiksi bangun yang menentukan atau mendasarinya adalah alur. Alurlah yang menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Dan hal penting dari alur ini adalah konflik. Karena konfliklah yang menggerakkan sebuah cerita. Konflik pula yang bisa menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita. Alur cerita anak biasanya dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu. Alur lain yang digunakan adalah sorot balik. Alur sorot balik digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anak-anak di bawah usia sembilan tahun.
3. Karakter adalah kepribadian tokoh yang dapat meyakinkan anak. Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, idola, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi anak. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi. Hal penting dalam memahami tokoh adalah penokohan yang berkaitan dengan cara penulis dalam membantu pembaca untuk mengenal tokoh tersebut. Hal ini terlihat dari penggambaran secara fisik tokoh serta kepribadiannya. Aspek lain adalah perkembangan tokoh. Perkembangan tokoh menunjuk pada perubahan baik atau buruk yang dijalani tokoh dalam cerita-cerita.
4. Gaya bahasa adalah gaya mengisahan dalam cerita. Gaya bahasa yang digunakan haruslah yang baik dan hidup, imajinatif dan fantastis namun mudah dicerna, bahasa yang dapat memperkaya perbendaharaan dan membangun kreativitas berpikir, mengasah akal budi, kepekaan perasaan dan keindahan. Salah satu aspek yang digunakan untuk menelaah gaya bahasa dalam sebuah cerita adalah pilihan kata. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan cerita yang disampaikan karena disadari bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu. Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan.
5. Latar adalah waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi. Misalnya dalam cerita kesejarahan, penciptaan waktu yang otentik ini sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita.

Tidak ada komentar: