Kamis, 02 April 2009

Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Kultural pada Program Paket B di Daerah Tapal Kuda Jawa Timur

Pada tahun anggaran 2009 ini Masnur Muslich dan Maryaeni (keduanya dosen Jurusan Sastra Indonesia FS Universitas Negeri Malang) mendapatkan hibah penelitian Potensi pendidikan Kota/Kabupaten dari DP2M terkait dengan topik penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Kultural pada Program Paket B di Daerah Tapal Kuda Jawa Timur”.

Inilah bagian Pendahuluan dalam proposal tersebut:

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ketika pendidikan formal (PF) menjadi barang mahal yang sulit terjangkau masyarakat, angka anak putus sekolah (drop out) pun tak terhindarkan. Berbagai faktor penyebab yang berdiri di belakangnya. Salah satu faktor yang dominan adalah masalah ketidakmampuan masyarakat dalam membayar dan me­nanggung biaya pendidikan.
Berdasarkan penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 2005, 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan menjadi pekerja anak (Tempo Interaktif, 13 Juni 2005). Itu artinya, pendidikan nonformal (PNF) lewat pembelajaran Paket A, B, atau C menjadi kekuatan yang bisa melindungi masa depan mereka. Dengan mengikuti PNF dengan tuntas (lulus), mereka akan dapat diakui kompetensinya sesuai dengan standar nasional.
Namun persoalannya, justru lulusan PNF ini, seringkali dipertanyakan keabsahannya dan menjadi lulusan "kelas dua" di masyarakat. Padahal, PNF yang dijabarkan lewat kegiatan pendidikan luar sekolah (PLS) dengan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) sebagai tempat mereka belajar dan tutor (guru) sebagai pendidik mereka telah menjalankan tugas mulia itu.
Semua itu terjadi, karena pemerintah sendirilah - secara sadar atau tidak – yang telah membuat diskriminasi terhadap PNF. Padahal, keberadaan ideal PNF adalah untuk penyetaraan anak-anak yang terpaksa putus sekolah akibat tidak mampu membiayai pendidikan. Anak putus SD/MI menjadi sasaran kelompok belajar (kejar) Paket A, anak-anak SMP/MTs menjadi sasaran kejar Paket B, dan anak-anak SMA/SMK/MA menjadi sasaran kejar Paket C.
Diskriminasi tersebut antara lain dapat dilihat dari anggaran dan fasilitas yang diberikan pemerintah untuk PNF, termasuk instrumen dan bahan ajar PNF yang belum lengkap dan belum memadai. Distribusi buku Paket B setara SMP, misalnya, juga ditengarai tidak tepat. Selain itu, jumlah guru/tutor terbatas, mutu yang disampaikannya pun cenderung kurang professional karena materi pelajaran tidak mudah untuk dipahami.
Persoalan lain, model pembelajaran Paket B relatif sama dengan model pembelajaran di sekolah formal. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar (KBM) kurang efektif. Padahal, menurut Dr. Ikka Kartika (2006), peneliti PNF dari Uninus, kriteria anak usia sekolah dari keluarga miskin yang ikut paket tersebut sangat beragam. Ada anak usia sekolah yang sekolah dan anak usia sekolah yang sekolah sambil bekerja. Sebagian besar peserta Paket B adalah anak usia sekolah yang sekolah sambil bekerja sehingga pendekatan ataupun metode pembelajarannya tidak dapat disamakan dengan metode pembelajaran di PF.
Ditambah lagi, dukungan orang tua warga belajar masih memerlukan suatu gerakan motivasi tersendiri. Yang prinsipil, kata Ikka (2006), pengakuan sosial terhadap lulusan program setara ini masih belum optimal sehingga banyak lulusan paket kesetaraan ini yang mengeluh sulit dapat diterima di sekolah formal saat mereka akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. "Pendidikan jalur PNF masih dipandang sebagai jalur pendidikan kelas dua sehingga keberadaannya masih saja sering dipertanyakan," ujarnya lebih lanjut.
Dari segi sosialisasi PNF, Dr. Tetet Cahyati, M.M., pengelola PKBM Sanggar Seni Tirtasari, mengakuinya masih sangat lemah. Padahal, dengan himpitan ekonomi yang semakin sulit, masyarakat memerlukan bentuk-bentuk lain dari pendidikan yang dapat diterimanya, selain dari pendidikan formal yang selama ini diberikan. "Dengan PLS sebenarnya masyarakat tidak terlalu terikat. Mereka dapat bekerja sambil belajar, karena waktu belajar PLS dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hanya sayang, keberadaan PLS masih belum memasyarakat," ujar Tetet (sumber: 2006).
Data final Puspendik pada 26 Agustus 2005 menyebutkan bahwa peserta UN Kesetaraan Paket A berjumlah 17.481 orang, Paket B 245.698 peserta, Paket C 200.968 peserta. Jumlah total 464.147 atau naik 920 peserta. Jumlah peserta pada Mei-Juni 2006 280.980. Jadi, total peserta tahun 2006 745.127. Jumlah peserta UN Kesetaraan 2006 meningkat pesat dibandingkan Mei-November 2005 sebanyak 224.901 orang, kenaikannya 231,3 persen. Berdasarkan data tersebut, provinsi dengan jumlah peserta terbesar adalah Jawa Tengah (80.627), Jawa Timur (44.850, Jawa Barat (33.055), Nusa Tenggara Timur (30.137), Kalimantan Barat (23.125), dan Sumatra Utara (21.020).
Pada sisi lain, untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, program Paket A setara SD/MI dan Paket B setara SMP/MTs diprioritaskan dalam upaya memenuhi kebutuhan belajar peserta didik yang tidak berkesempatan menempuh pendidikan dasar jalur formal karena berbagai hal. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang karena berbagai hal tidak dapat menempuh pendidikan menengah jalur formal, Pemerintah menyelenggarakan program Paket C Setara SMA/MA.
Penilaian yang berkesinambungan dilakukan terhadap program Paket A, Paket B, dan Paket C diselenggarakan untuk memantau proses pembelajaran, kemampuan yang telah dicapai, dan kemajuan hasil belajar peserta didik melalui penilaian formatif dan sumatif yang dilakukan oleh pendidik. Ujian Nasional yang diselenggarakan pada setiap akhir satuan pendidikan untuk mengukur pen­capaian standar kompetensi lulusan, mendorong kompetisi, memberikan peng­aku­an (recognition) bahwa seorang peserta didik telah mencapai kompetensi minimal, dan menyatakan yang bersangkutan berhak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Untuk memberikan acuan bagi semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan Ujian Nasional Paket A, Paket B, dan Paket C, serta untuk menstandarkan langkah-langkah dalam pelaksanaannya, telah disusun Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional Paket A, Paket B, dan Paket C Tahun 2006.
Gambaran sepintas tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembel­ajaran Paket A, B, C masih memerlukan pembenahan di hampir semua aspek pembelajaran. Dari sekian banyak aspek tersebut, yang manjadi sasaran “pembenahan” kegiatan tahap ini adalah “pengembangan model pembelajaran” mata pelajaran “Bahasa Indonesia” dengan pendekatan “kultural” pada program belajar “Paket B” di daerah “Tapal Kuda Jawa Timur”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran di atas, rumusan masalah yang akan dicari pemecahannya dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut.
1)Bagaimana pengembangan strategi pembelajaran bahasa Indonesia program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur yang sesuai dengan kondisi siswa yang kental dengan budaya Madura?
2)Bagaimana pengembangan bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang cocok bagi program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur, yang sebagian besar masyarakatnya berbudaya Madura ?
3)Bagaimana pengembangan pengelolaan pembelajaran bahasa Indonesia program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur, yang tidak mengganggu pekerjaan rutin pesertanya sebagai Pekerja kasar?

1.3 Asumsi
Penelitian pengembangan ini dilakukan setelah mempertimbangkan serang­kaian asumsi berikut.
a.Program Paket B telah dilaksanakan di Jawa Timur, khusus di daerah tapal kuda, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso. Dengan demikian, perangkat yang mendukung pelaksanakan tersebut, khususnya tutor dan buku paket pelajaran, juga tersedia.
b.Sebagai bagian dari kurikulum program Paket B, pelajaran bahasa Indo­nesia juga disajikan pada pelaksanaan program Paket B di daeah tapak kuda Jawa Timur.
c. Aspek-aspek kultural yang dominan yang selama ini terdapat di masya­rakat tapal kuda Jawa Timur dapat dideskripsikan dengan cara pengamat­an dan wawancara dengan tokoh budaya setempat.
d.Nilai-nilai kultural yang telah terdeskripsikan dapat dipakai sebagai pijakan dalam rangka mendukung pencaaian target pendidikan, khususnya pem­bel­­ajaan bahasa Indonesia.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Penelitian
Sebagaimana telah diuarikan dalam butir 1.1 Latar Belakang, ruang lingkup penelitian ini mengarah ke dua sasaran, yaitu (1) pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur dan (2) pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur. Dari kedua lingkup ersebut, yang dilaksanakan pada tahap pertama ini adalah sasaran pertama, yaitu pengembangan model pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur.
Dalam praktiknya, pengembangan model pembelajaran ini dibatasi pada pembelajaran yang mendukung standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang terdapat pada kurikulum bahasa Indonesia pada rogram Paket B. Dengan cara demikian, produk yang dihasilkan lebih terarah dan terfokus.

1.5 Definisi Operasional
Untuk mendapatkan kesamaan konsep terhadap berbagai istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini, berikut disajikan definisi operasional istilah-istilah tersebut.
a.Model pembelajaran adalah tipe pembelajaran yang ditandai oleh adanya (1) tujuan pembelajaran yang bersifat khusus, (2) asumsi teori, (3) prinsip, (4) konsep-konsep pokok yang melandasinya, (5) langkah pembelajaran, dan (6) peran dan prinsip hubungan guru dan siswa.
b.Pembelajaran bahasa Indonesia adalah pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat terampil berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulis.
c.Pembelajaran bahasa Indonesia Berbasis Kultuaral adalah pembelajaan bahasa Indonesia yang berpijak pada persepsi budaya yang terdapat pada diri siswa sehingga pembelajaran berlangsung secara permisif dan berterima.
d.Program Paket B adalah pendidikan nonformal (PNF) setingkat SMP yang merupakan jenjang akhir program wajib belajar 9 tahun. Kesuksesan pelak­sana­an program Paket B akan mendukung tercapainya program wajib belajar 9 tahun.
e.Tapal kuda Jawa Timur adalah daerah “pesisir utara Jawa Timur bagian sempit” yang diduduki oleh masyarakat yang sebagian besar berbahasa ibu bahasa Madura. Bagi masyarakat di daerah ini, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso, bahasa Madura memiliki fungsi dan kedudukan tersendiri dalam kehidupan sosial budayanya.

1.6 Luaran Penelitian
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan di atas, kegiatan ini akan menghasilkan seperangkat:
(1)prototipe model pengembangan bahan ajar berbasis kultural pada program Paket B yang cocok diterapkan di daerah tapal kuda Jawa Timur.
(2)model bahan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B yang cocok diterapkan di daerah tapal kuda Jawa Timur;
(3)pedoman strategi pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur; dan
(4)pedoman pengelolaam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kultural pada program Paket B di daerah tapal kuda Jawa Timur.

Tidak ada komentar: